16. Marah.

14.7K 1K 3
                                    

Vote and Comment.

Serla melangkah dengan ragu menuju kamar Axelle. Di kedua tangannya terdapat nampan yang berisikan nasi dan juga air putih. Bukannya ia tidak mau menemui Axelle, tapi Baron yang sedang marah dengannya membuat Serla menjadi tidak nyaman. Jika berdekatan dengan pria itu atau satu ruang dalam pria itu, aurahnya sangat mengencam, ia bergidik ngerih mengingat bagaimana wajah majikannya itu saat marah. Bisa di sama artikan dengan pria iblis yang mempunyai rupa rupawan dan menawan.

Kemarin malam, pria itu sangat cuek terhadapnya. Bahkan membantu ia berjalan saja tidak, padahal kakinya terkilir dan juga luka yang ada di lututnya masih terasa sakit hingga saat ini. Serla meringis saat luka itu bersentuhan dengan kain celana. Memang luka itu tak seberapa lebar dan parah, tapi luka itu belum juga kering. Serla melangkah pelan agar luka itu tidak tambah lebar akibat bersentuhan dengan kain celana. Ia harus cepat memberi Axelle makan supaya ia bisa mengobati kembali lukanya.

"Permisi tuan muda, saya masuk yah!" Serla berucap setengah berteriak. Tangannya menyentuh knop pintu lalu mendorongnya.

Baron melewati Serla dan masuk lebih awal ke dalam kamar Axelle. Serla yang di abaikan merasa ragu dan bimbang untuk masuk. Tapi melihat Axelle yang sedang berjalan kearahnya membuat ia menggeleng. Ia harus bisa mengatasi ini dan membuat suasana kembali normal, tidak canggung seperti saat ini.

"Mama ayo masuk." Axelle menutup pintu kamar. Kemudian anak itu melangkah lebih awal dari Serla. Sedangkan gadis itu dengan kikuk berjalan masuk lebih ke dalam.

Baron sedang duduk di karpet sebelah ranjang tidur. Pria itu tidak menoleh sama sekali saat Serla masuk. Axelle berlari kearah Baron dan duduk di pangkuan pria itu. Serla menghembuskan nafasnya kasar, akan sulit jika menyuapi Axelle jika posisinya sedang berhadapan dengan Baron. Baron tidak ternganggu sama sekali saat Axelle duduk di pangkuannya. Pria itu sibuk dengan sebuah ipad dan bisa di tebak bahwa pria itu sedang memgurus pekerjaan. Serla ikut duduk di sana dan menghadap langsung kepada Baron.

Serla mengarahkan satu sendok penuh dengan nasi dan juga ikan yang terselip di sana, kepada Axelle. Dengan semangat Axelle membuka mulutnya dan menyambut satu sendok nasi itu. Perlahan Axelle mengunyah sesekali itu melihat apa yang sedang Baron lihat di ipad.

Pegal juga ternyata jika duduk bersila. Serla mengganti posisi duduk yang menurutnya nyaman. Serla tampak terkejut saat sebuah tangan kekar memegang kakinya dengan paksa tangan itu membuat kakinya terlentang lurus.

"Aduh! Sakit Pak!" erang Serla lalu memberi pelototan kepada Baron. Ayolah kakinya masih sakit, belum juga di urut.

"Buka!" pintah Baron dengan suara dinginnya dan muka datar tanpa ekspresi terpampang jelas di wajah pria itu.

"Buka apa pak?" tanya Serla dengan raut wajah bingung.

"Celanamu, eh maksudnya lipat celanamu, saya mau memeriksa kakimu," jawab Baron gelagapan saat ia malah menjawab ngawur dan ambigu.

Serla mendengus kesal. Memang pria ini sangat mesum. Serla dengan terpaksa melipat bagian celananya sampai selutut. Benar saja lukanya masih belum kering. Baron menatapnya lalu menoyor kepala Serla. "Dasar gadis bodoh," ucap Baron lalu ia beranjak menuju sebuah lemari kaca yang tak jauh dari sana.

"Ih kaki Mama berdarah," ucap Axelle mengamati luka yang ada di lutut Serla.

"Axelle gak boleh gini yah. Sakit tau," ucap Serla. Axelle mengangguk cepat.

Baron datang dengan sebuah kotak P3K. Dengan sigap tangannya membuka tutup botol obat merah dan meneteskannya di lukaku. Jari telunjuknya mengolesi cairan obat itu supaya merasa. Serla reflek meringis, sangat perih dan nyeri rasanya. Ingin sekali Serla menepis jari telunjuk Baron dari sana. Baron sangat gemas dengan tindakan Serla yang malah menepis tangannya. Serla menatap kesal kepada Baron. Pria itu seperti terpaksa membantunya jika cara kasar yang di lakukan pria itu.

My Sweet Duda [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang