"INI APA GAVINA!" teriakan Irgy lagi-lagi menjadi sambutan bagi kepulangan Gavina setelah bekerja. Perempuan itu hanya diam dan menatap sekilas ibunya yang sedang marah-marah sambil memegang bungkus rokok, yang sudah Gavina pastikan didaptkan dari kamarnya."Gavina! Saya pernah didik kamu untuk melakukan hal seperti ini?!" Irgy belum menyerah untuk menghentika langkah Gavina yag menuju kamarnya.
"Gavina Setuharyana!" desis itu membuat langkah Gavina terhenti. G berdiam diri lalu menatap Irgy.
"Ma, masih ingat nama akua da embel-embel Setuharyana? Aku kira mama lupa," justru Gavina semakin sengak menatap Irgy. Meski nyatanya ada tangan yang bergetar hebat dengan mengepal. Baru kali ini dia berani melawan Irgy berbicara. Dan itu rasanya benar-benar menakutkan.
"Saya mendidik kamu bukan untuk jadi wanita seperti ini Gavina!"
Perkataan Irgy justru memancing Gavina mendesis dan tertawa sumbang.
"Kenapa? Kamu tertawa? Kamu benar-benar kehilangan sopan santunmu Gvaina!"
"Sejak kapan Mama didik aku?" pertanyaan yang seharusnya diucapkan dengan nada sengak justru nyatanya tidak. Gavina mengucapkannya dengan suara bergetar. Seakan baru saja memunculkan sebuah sakit yang terlalu dalam dipendam.
"Sejak kapan Ma? Dari kecil, setiap pengambilan raport mama gak pernah mau ambili raport G. setiap G sakit dan ngerengkek minta tidur sama Mama, Mama dimana? Setiap G jatuh dari sepeda, G pulang dengan basah kuyup, mama dimana!" Gavina tidak memiliki kekuatan unuk berteriak pada Irgy. Kalimat menyakitkan itu membuat Irgy semakin merah padam. Wanita itu nampak mengatur napasnya dan memilih berbalik meninggalkan Gavina. Namun lagi-lagi perkataan Gavina benar-benar membuat Irgy tidak tahan untuk menampar anaknya.
"Karena emang aku gak pernah punya tempat di hati bahkan di doa mama kan?"
PLAK!!
Gavina senang. Ya, katakanlah Gavina gila sebab senang dengan pukulan dari mamanya.
"Benar kan? Gakpapa, G paham sampai sini, tapi tolong jangan larang G untuk menemui pelarian G. Karena G capek harus sendirian!" Teriakan G disusul dengan dirinya yang memilih pergi dari rumah, niat hati akan beristirahat justru G semakin merasakan kelelahan. Di depan pintu Jasmitha yang baru akan masuk terkejut ketika melihat raut emosi kakkanya yang keluar.
"Kak," ucapan itu sama sekali tidak didengarkan oleh Gavina. Gadis berambut oanjang itu menatap datar depan dengan langkah tergesagesa meninggalkan rumahnya.
**
Petang memang selallu menjadi menarik, bagaimana tidak? Perpaduan warna merah senja dan hitam diufuk barat selalu nampak mempesona dan juga nelanga. Ya, bagi sebagian orang kenelangsaat akan kepergian senja sellau menjadi momok untuk dijadikan tempat bersendu. Biru dengan Kahi saat baru saja dari toko seni untuk membeli peralatan pahat yang baru, dan sekarnag mereka sedang sama-sama terduduk di sebuah tembok besar dipinggir jalan yang dibawahnya mengalir sungai. Dua manusia itu sama-sama menghadap arah matahari tenggelam.
"Bang, udah lama ya ninggalin kota ini?" tanya Kahi memecah keheningan. Memang diantara anak didik di sekolah seni Biru paling dekat dengan Kahi. Meski passion keduanya cukup bertolak belakang, sebab Kahi lebih focus kepada seni pahat, tetapi bagi Biru berbicara dengan Kahi sangat nyambung dan menyenangkan.
"Sekitar 5 tahun yang lalu, mungkin" kata Biru sambil meraba rokok di sakunya, pemuda itu mencari korek dan sebelum menyalakannya dia menatap Kahi.
"Kamu ngerokok enggak?"
"Enggak bang," ujar Kahi yang kemudian membuat Biru mengangguk dan menyimpan kembali rokoknya. Melihat hal itu Kahi justru merasa tidak enak dan mengatakan,
"Bang kalau mau ngerokok gakpapa, aku biasa kok kalau missal teman-teman pada ngerokok aku disana," ujarnya menjelaskan.
"Gakpapa Kahi, saya hanya ingin menghargai kamu. Kasihan kamu gak nikmatin enaknya ngerokok tapi malah kena bahayanya."
"Abang baik, kalau aku cewek pasti udah naksir deh," jawab Kahi yang kemudian membuat mereka bedua tertawa.
"Kahi, kamu tahu sekolah seni darimana?" tanya Biru kemudian.
"Dari Kak Gavi aku dulu gak pernah tahu apakah ada universitas gratis kaya gini. Belajar sekarang butuh banyak dana Bang."
"Bapak sama Ibu masih ada?" tanya Biru agak kaku.
"Bapak masih, Ibu udah meninggal 3 tahun yang lalu bang, sekarang Bapak lagi focus sama adik juga yang umurnya baru 5 tahun." Biru hanya mendengarkan dan mengangguk. Ya memang saat ini untuk menyandang status orang berpendidikan harus mengeluarkan biaya. Misalpun mendapat bantuan, tidak sepenuhnya karena buku-buku, peralatan harus dibeli dengan biaya sendiri.
"Kayaknya kalau jadi Bang Biru enak deh, disukai banyak orang. Kayaknya juga hidup Bang Biru seru ya,"
"Benar, hidup saya seru Kahi. Tapi saya tidak sependapat denganmu mengenai disukai banyak orang terasa nyaman. Tidak Kahi, hidup saya sepi,"
Mendengar nada bicara Biru yang terkesan lirih, membuat Kahi mengalihkan pandangannya ke wajah BIru. Ada guratan sendu disana, ada sebuah kerlipan harapan yang begitu kesepian di wajah Biru. Sang Penyair yang selalu memikat itu nyatanya kini hanya seorang manusia yang merasa sepi.
Biru menatap Kahi yang juga sedang menatapnya, pemuda itu tersenyum dan berkata.
"Hidup disukai banyak orang kdang terlalu ramai Kahi, dan saya tidak ada dikeramaian itu. Justru saya hanya ada pada ruang-ruang kesepian,"
Kahi tidak tahu, seperti apakah sosok Biru itu. Yang Kahi tahu, Biru hanyalah gurunya, dan juga salah satu dari sekian banyak manusia yang terlihat kesepian.
**
Setelah Kahi dan Biru berpisah, Biru berencana untuk segera pulang ke rumah dan mengistirahtakan badannya. Hari yang sudah mulai menghitam membuat beberapa lampu jalanan mulai menerangi tempat-tempat di sepanjang jalanan kota. Sampai di pertigaan, lagi-lagi Biru harus hidapkan dengan Gavina yang terlihat acak awut dibawah lampu jalanan dipertigaan sebelum memasuki gang ke rumah Biru. Gavina menatap Biru yang juga tengah mentapnya. Dari tatapan itu saja Biru paham bila Gavina baru saja menangis. Biru melangkah perlahan mendekati Gavina, dan ikut duduk dihadapan Gavina.
"Berat banget ya?" kata Biru lembut pada Gavina. Tidak ada jawaban dari perempuan itu, hanya tangisannya yang semakin menjadi jatuh dari matanya.
"Mau merokok? Tapi korek saya tadi entah jatuh dimana," ulang Biru masih dengan nada lembut. Gavina semakin menjatuhkan air matanya dan dengan perlahan mengangkat tangannya menggenggam tangan Biru.
"Sakit.." gumaman lirih itu pada akhirnya terucap dari bibir pucat Gavina.
"Pulang ya," hanya gelengan yang Gavina berikan sebelum akhinya Biru memaksanya berdiri.
"Bukan ke rumahmu, ayo," katanya sambil menarik Gavina mendekat dan merangkul wanita pemakai gelangnya itu. Mereka pergi ke sebuah tempat,
ya, ke sebuah tempat milik Biru.
____________
Hai apa kabar kalian?

KAMU SEDANG MEMBACA
AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 Biru
Romance(ON GOING) Biru Pram Frasa : Seorang penyair yang terjebak dalam bayangan kisah cinta bersama seorang gadis di masa lalunya. Perjalanan yang membawanya pergi dari satu kota ke kota lain justru tak pernah bisa membuatnya berhenti merindui Jana. Hing...