1

564 95 14
                                    

Ketika seekor naga ur menyemburkan cairan asam kuat ke bocah di hadapannya, aku ikut menyemburkan air kelapa yang belum sempat kutelan.

Pemandangan itu membuatku melongo selama beberapa saat. Bahkan Beast menegakkan leher dan tampak terpana, seolah takjub karena berkesempatan melihat kejadian tersebut.

Anak itu menangis keras-keras, sementara naga di depannya—yang tingginya masih kurang dari dua meter—hanya terduduk sambil menatap penunggangnya. Orang-orang di pantai tidak membantu, justru mereka bertepuk tangan dan menenangkan anak itu dari kejauhan, meyakinkan bahwa serangan tadi tidak dilakukan dengan maksud jahat.

"Proses pemberian Cyfar yang luar biasa," Beast berkomentar. "Bayangkan apa jadinya kalau kau mengalami hal serupa lima tahun lalu."

Sekilas kulihat bayangan diriku berguling-guling di tanah dan berteriak sambil menangkis serangan tak kasat mata yang ditimbulkan asap halusinasi, sementara orang-orang cuma bertepuk tangan seraya memberi selamat atas munculnya penunggang naga baru. Jujur saja, semua itu terasa memalukan.

Aku kembali menyesap air dari potongan kelapa di tanganku. Beast hendak lanjut mengamati seekor kepiting yang sejak tadi menarik perhatiannya, tetapi hewan itu sudah menghilang di antara pasir. Anak laki-laki tadi berhenti menangis dalam waktu singkat. Sekarang, dia malah berseru girang dan memeluk naganya.

"Seharusnya dulu kau juga memelukku alih-alih langsung kabur," gerutu Beast.

"Oh, kau mau dipeluk?" Kugoda Beast sambil melingkarkan tangan di sekeliling kepalanya. "Maafkan aku, wahai naga iltas yang agung, tapi kau membuatku ketakutan sehingga yang muncul dalam benakku hanyalah keinginan untuk kabur."

Sewaktu sibuk mengganggu nagaku yang penggerutu, seseorang menghempaskan diri ke sebelahku. Dengan sendoknya, Ben asyik menikmati kelapanya sendiri. Sehelai handuk kecil disampirkan di puncak kepala, sementara rambutnya yang basah masih meneteskan air.

Kami baru saja menyelesaikan latihan berenang, yang mau tak mau harus kulakukan agar kesempatan bertahan hidupku naik beberapa persen. Akan sangat menyedihkan bila aku mati di perairan tenang hanya karena tidak bisa berenang atau setidaknya menenangkan diri ketika berada dalam air.

Mata Ben mengarah padaku, menunjukkan warna iris yang berbeda. Salah satu berwarna biru pirus yang melambangkan jati dirinya sebagai penyihir tingkat atas kendati berdarah campuran, sementara yang lain berwana biru gelap merepresentasikan jenis naganya.

Sulit mengalihkan pandangan kalau sudah bertatapan dengan mata serba biru itu. Aku sampai mengingat diri untuk berkedip, lalu memalingkan wajah yang sudah terlanjur menghangat.

"Kau mau menyudahi latihan hari ini?" tanya pemuda itu.

Aku mengangguk. Latihan renang kami sudah berlangsung sejak jam enam pagi. Kini penduduk Morze mulai sibuk dengan urusan masing-masing, membuatku enggan berlama-lama di luar. Kueratkan handuk dan berdiri, tak lupa membersihkan tubuh dari pasir.

"Aku akan menunggu di hutan." Beast ikut berdiri, tubuh raksasanya menghalangi cahaya matahari. Mustahil untuk tidak menarik perhatian bila berdiri di sebelah Beast. Beberapa orang segera menoleh ketika melihat nagaku bergerak.

Setelah mengamati kepergian Beast, kutolehkan kepala ke arah Ben. Entah kenapa pemuda itu masih menatapku tanpa berkedip. Langsung saja, jantungku memompa darah lebih cepat, mengirim aliran statis yang bergelenyar sepanjang tengkukku.

"Dingin sekali," aku pura-pura berkomentar. "Sebaiknya kita segera masuk."

Aku berlari kecil menuju rumah keluarga Salvatore. Kulihat anak kecil dan naga tadi sudah pergi, barangkali kembali ke rumah. Ben menyusul dari belakang, lalu bertanya tanpa basa-basi, "Bagaimana kalau nanti malam, kita kita makan di luar?"

Iltas 2: Dragons of DracaelumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang