15

262 71 19
                                    

Pegunungan di pulau itu semakin membesar seiring kami mendekat. Ketika awan berarak di sekitar puncaknya, aku baru sadar ketinggiannya jauh melebihi dugaanku. Aku tak akan terkejut kalau puncaknya mencapai ujung troposfer.

"Bagaimana kalau terjadi longsor atau semacamnya?" aku bertanya pada Saar. "Tidakkah hal tersebut akan mempengaruhi batuan pegunungan?"

"Seluruh pulau diberi sihir pelindung, terlebih Pegunungan Famhaire, yang merupakan tempat perkumpulan para naga."

"Bagaimana bisa ada bentang alam sebesar itu, yang mampu menampung banyak naga?"

"Sihir di sini membantu segala sesuatu," Saar menjawab dengan bangga. "Tak heran bila para naga menganggap Dracaelum sebagai surga dan Andarmensia sebagai neraka."

Aku meringis dalam hati. Ucapan blak-blakkan itu agak menamparku. Memangnya apa yang kuharapkan? Bahwa kehadiran penunggang naga telah memperbaiki segala sesuatu?

Tak hanya pegunungan itu yang besar, jalan masuknya pun membuat kami merasa kecil. Berbeda dengan permukaan luar yang berbatu dan diselimuti rerumputan, bagian dalamnya bak dilapisi permata warna-warni. Ada jalan masuk lainnya pada bagian atas gunung sehingga nantinya sinar mentari pagi bisa memancarkan sinar ke dalam. Karena hari sudah beranjak sore, bebatuan di dalam pegunungan memancarkan cahaya yang lebih kentara.

Pemandangan ini mirip gua naga di Andarmensia. Lagu leluhur naga yang menyambut telingaku pun tetap sama seperti biasanya. Namun segala sesuatu terlihat lebih megah.

Beberapa naga duduk di batuan yang menjorok ke luar, memperhatikan kami lewat. Pada bagian bawah, ada aliran sungai kecil di antara tanah hijau berbunga. Pada bagian tengah, membentang sebuah jurang raksasa yang bisa dimasuki para naga, masih ditemani oleh cahaya bebatuan yang gemerlap sehingga tidak terkesan mengerikan. Naga-naga muda saling berkejaran di bawah sana, lalu menukik naik, nyaris menabrak kami.

"Terbang yang benar, anak-anak!" Saar berseru, kemudian menoleh ke arah kami. "Kalian ingin menunggu teman yang lain atau menemui Naga Agung terlebih dulu?"

Jauh di depan kami, ada sebuah jalan yang lebih gelap dan temaram. Segala sesuatu membuatku lelah karena ada banyak informasi baru yang perlu kuproses. "Sebaiknya kita menunggu Kaia dan Rantha. Tidaklah sopan bila kami menghadap Naga Agung dalam keadaan terpisah seperti ini."

"Aku senang kau masih memikirkan pendapat Naga Agung," Saar menjawab senang sekaligus merasa terhormat. "Meski aku yakin, beliau memahami kegirangan Kaia dan Rantha. Tempat ini membuat naga mana pun ingin cepat-cepat berjelajah."

Kupikir kami bisa beristirahat sebentar sementara aku menarik napas lega karena bisa menunda pertemuan yang menegangkan ini. Sebelum sempat terbang pergi, Saar sudah memberi tatapan bersemangat ke belakang kami. "Ah, mereka kembali!"

"Maaf!" Kaia berseru. "Aku terlalu bersemangat sampai-sampai tidak bisa menahan diri. Apalagi sejak Ben bisa mendengarku." Dia menoleh ke arah penunggangnya. "Pokoknya aku sangat menyayangimu, Ben. Kau harus ingat itu, walau aku sudah mengulanginya sebanyak dua puluh kali sejak tadi."

"Aku tahu, Kaia." Ben terkekeh sambil mengusap leher naganya dengan penuh sayang. Rambut pemuda itu terlihat berantakan dan mencuat keluar dari ikatan. "Aku juga menyayangimu."

Rantha menyusul dari belakang, sibuk bicara pada Amethyst. Gadis itu tertawa keras karena sesuatu yang diucapkan naganya lalu dia merundukkan tubuh untuk memeluk Rantha.

"Karena semuanya sudah berkumpul, kita bisa pergi sekarang," Saar berucap girang. "Jangan cemas, kita cuma perlu terbang sedikit lagi, setelah itu kita akan tiba di tujuan. Perlu kuingatkan bahwa ketika kita menghadap Naga Agung, semua naga harus mendarat dan menundukkan kepala dengan sayap terentang. Para penunggang bisa turun dari naga masing-masing dan ikut berlutut hormat."

Iltas 2: Dragons of DracaelumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang