13

252 74 23
                                    

Sejam berikutnya, hujan lebat turun tanpa peringatan. Setiap tetes menghantam wajah bagai pukulan kerikil, tetapi Immy langsung menyelamatkan keadaan dengan memasang perlindungan bagi rombongan kami. Angin pun tak lagi menghalau arah terbang naga, memudahkan mereka tetap melaju ke depan.

Langit mendung mempersulitku ketika hendak memperkirakan waktu. Berdasarkan jam saku Immy, sekarang sudah pukul tiga sore. Dua puluh menit berikutnya kami tiba di perhentian ketiga. Para naga beristirahat di atas batuan karang yang cukup luas. Namun ketika Beast beserta dua iltas lainnya mendarat, mendadak semua naga jadi berdesakan. Sekadar melipat sayap pun mereka sampai menyenggol satu sama lain.

"Kenapa kalian bertiga harus sebesar ini?" Lucifer memprotes geram pada ketiga iltas di hadapannya.

"Karena kami lebih tua, bukankah sudah jelas?" tanya Olga. "Seharusnya kau bersikap hormat pada kami. Ingin rasanya kupukul kepalamu."

"Baru kali ini kau mengatakan sesuatu yang bisa kusetujui," Beast menimpali.

Penurunan suhu udara tetap tidak terhindar walau perisai sihir melindungi kami. Dante meminta Lucifer untuk menguarkan panas supaya Immy bisa menghemat energinya. Walau masing-masing naga bisa menghangatkan diri sendiri — atau bahkan kurang peka terhadap cuaca dingin — kehangatan dari naga infernos itu membuatku bernapas lega.

Di tengah kesunyian yang hanya bertemankan derai hujan dan suara gesekan sisik naga, cahaya kilat menerangi kami selama sedetik, kemudian langit bagaikan kain yang dirobek dengan suara ditingkatkan beratus kali lipat. Tak cukup sekali, suara itu terdengar lagi, beradu dengan kilatan cahaya yang terlampau terang.

Wajah Olga dan Ergo tak luput dari ketegangan, tetapi akhirnya mereka sama-sama menyadari sesuatu lalu mengerang, menunjukkan kesan tak peduli. "Selalu saja datang dengan gaya," keluh Olga.

"Apa maksudmu?" Kaia bertanya. Sebagai jawaban, dari balik awan mendung dan kilat yang masih hilang-timbul, seekor naga melesat ke arah kami. Gemuruh guntur berhenti sejenak, malah digantikan oleh tawa khas naga.

"Kalian sudah sampai di sini!" Seekor ekatza terbang dengan santainya di dekat kami, seakan keberadaannya bagai burung kutilang yang lazim dilihat. Kecuali Olga dan Ergo, semua yang ada di sana terpana menatap naga itu.

Sisik keunguannya lebih berkilau karena basah. Mata hijaunya berkilat semangat, seakan-akan hujan menambah energi ke dalam dirinya. Ukuran tubuh sang ekatza termasuk kecil, menandakan bahwa usianya masih muda; Kaia lebih besar sedikit darinya. Mata naga itu mengawasi kami satu per satu. "Padahal aku baru mau menyusul."

"Sudah kubilang kami bisa mengatasinya," balas Ergo. "Kalau kau ikut, kerjaanmu hanya pamer dan menakut-nakuti semua manusia alih-alih melakukan sesuatu yang perlu dilakukan."

"Lebih menyenangkan menakuti mereka, kan? Omong-omong rombongan yang besar."

"Segini saja tidak akan masalah bagi Naga Agung. Aku yakin beliau akan menerima mereka," jawab Olga. "Omong-omong, gadis di atas iltas itu bisa mendengarmu bicara, jadi jangan katakan hal yang aneh-aneh."

Ekatza jantan itu memicing ke punggung Beast. "Yang pakaiannya seperti pelangi aneh atau yang di depannya?"

"Yang di depannya," aku mengambil alih menjawab. "Kutebak kau punya nama?"

"Oh, betapa tak sopannya diriku." Ekatza itu menegakkan leher dengan sudut bibir ditarik ke atas, menunjukkan senyum khas naga sekaligus taringnya. "Aku, Saar." Petir menyambar bersamaan ketika dia menyebut namanya. Kentara sekali bahwa naga itu sengaja menambah efek dramatis ketika memperkenalkan diri.

Entah kepribadian Saar memang seperti ini atau aku baru saja menemukan spesies naga menyebalkan lainnya. Kuharap opsi pertama adalah jawabannya.

"Aku baru tahu kalau masih ada iltas di Andarmensia. Kukira tak mungkin ada seekor pun yang sanggup bertahan hidup." Mata Saar memperhatikan Beast secara cermat, sesekali kepalanya miring ke kiri dan kanan untuk melihat dari berbagai sisi.

Iltas 2: Dragons of DracaelumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang