37

227 57 28
                                    

Immy berjalan cepat ke arahku, menyeret serta Amethyst yang sedang menoleh ke segala arah dengan mulut ternganga kecil. Setiap arah memberinya pemandangan baru yang asing.

Aku meraih Immy ke dalam pelukan, nyaris meremasnya. "Ben dan Dante?"

"Entahlah, belum kami temukan." Immy menjauh dariku, tetapi matanya tertuju pada satu titik. "Cassie, di belakangmu—"

"Aku tahu." Aku tetap tidak menoleh. "Biarkan saja, Immy."

"Kenapa kita dikirim ke sini?" Amethyst merapatkan tubuh ke kami ketika sebuah mobil melesat cepat di jalan raya.

Aku meraih tangan Immy dan Amethyst walau tidak tahu harus berjalan ke mana. "Aku tidak tahu kenapa kita dibuang ke sini. Tapi kita harus mencari Ben dan Dante. Immy, gunakan sihirmu."

Immy menarik tangannya dan mengangkatnya ke depan wajahku. "Benda ini menghalangiku."

Aku menyipitkan mata, mengamati tiga garis hitam tipis yang melintang di sekeliling pergelangan tangan Immy. "Apa sihirmu masih terasa?"

"Tidak." Napas Immy menjadi lebih berat. "Sial, kalau saja kita kembali, akan kupatahkan leher naga itu."

Immy mengaku kalau dia dan Amethyst mendarat di dekat sebuah toko alat lukis. Aku tahu toko mana yang dimaksud, tetapi pada saat bersamaan merasa pangling ketika melihat bentuk bangunannya yang sudah berbeda. Banyak hal telah berubah sampai-sampai aku tidak mengenali apa pun, tapi kehadiran orangtuaku sudah menegaskan satu hal.

"Kupikir aku bisa menebak di mana Dante dan Ben mendarat," kata Immy. "Ada satu lagi tempat yang kutunjukkan kepada Naga Agung."

"Crunch for Life?" aku menebak. Immy mengangguk samar lalu kami berjalan ke tempat yang dimaksud.

New Orleans terasa asing sekaligus akrab bagiku. Orang-orang di sekitar lebih tertarik pada penampilan kami daripada memikirkan alasan di balik wajah bingung kami. Lalu, mereka tetap berjalan lewat, menjalani hidup normal mereka sementara kami terdampar di dimensi lain dalam kondisi menyedihkan.

"CASSIDY!"

Suara teriakan dari seberang jalan membuatku langsung menoleh sekaligus mengerang malu. Kedua pemuda yang kami cari memang berdiri di dekat tempat makan favoritku dan Immy. Pengguna jalan memandang Ben dan Dante dengan tatapan risih, beberapa terkikik geli sambil buru-buru menjauh. Aku memberi isyarat agar mereka tetap di tempat sementara kami bertiga bergegas menunggu di zebra cross.

"Kenapa kalian melukis di atas jalan?" tanya Amethyst. "Kenapa juga kita harus menunggu? Jalannya kosong."

"Jalan raya di sini memang berbeda dari Andarmensia. Kau lihat itu?" Immy menunjuk lampu tanda penyeberangan yang masih merah. "Kalau cahayanya hijau, barulah kita bisa jalan."

Konsep aneh itu membuat Amethyst mengernyit dalam. Lampu penyeberangan berubah warna dan kami melintasi jalan bersama beberapa orang lainnya. Amethyst harus kutarik seperti anak kecil karena matanya terus berjelajah ke segala arah. 

Ben dan Dante sudah menunggu tak sabaran. Immy langsung meraih pergelangan kiri kedua pemuda itu. Tanda berupa tiga garis hitam juga terlihat di sana.

Sambil menyembunyikan kegelisahannya, Immy memimpin jalan, entah mau pergi ke mana. Kami berempat cuma mengekori; aku menggandeng tangan Amethyst dan Ben supaya mereka berjalan cepat, sementara Amethyst memegang tangan Dante.

Immy berbelok ke sebuah gang buntu dan berhenti di sana. Tampaknya di sinilah tempat diskusi kami, ditemani genangan air berbau pesing dan bau menusuk dari setumpuk kantong sampah hitam; tak lupa dengung lalat dan desisan mengancam dari kucing liar, serta deru mesin dan suara klakson yang tak kunjung berhenti.

Iltas 2: Dragons of DracaelumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang