Aku yakin itu Beast. Dari kejauhan pun, meski tatapannya tidak seperti yang kuingat; meski gesturnya menunjukkan ancaman alih-alih penerimaan, aku tahu itu nagaku.
Tidak ada naga dari kelompok kami yang berani maju. Bila dipikirkan dengan akal sehat, sudah jelas kalau kami kalah dari segi jumlah dan tenaga.
Ketika kami masih berusaha memproses keadaan ini, tahu-tahu Saar dan kedua temannya menyusul masuk. "Kalian pikir pertahanan Dracaelum bisa dimasuki semudah itu?" tanya si ekatza dalam nada mengejek. Dengan santainya dia bergabung dengan koloni naga yang sudah tak sabar ingin menghabisi kami. Tatapan Saar tertuju kepada kami semua secara bergantian. "Kalau jadi kalian, aku akan memilih kembali ke Andarmensia sebelum terlambat."
Aura mengancam dari semua naga membuat nyaliku menciut. Beberapa naga dari kelompok kami terbang mundur saking mencekamnya suasana. Namun tubuh mereka malah menabrak dinding tak kasatmata.
Beberapa naga Dracaelum menyeringai. Kekehan Saar menjadi satu-satunya pemecah kebisuan.
"Mereka tidak mungkin membunuh kita, kan?" aku bertanya tanpa sadar.
"Mereka tidak akan membunuh para naga," Immy membalas dari belakang. "Tapi entah apa yang akan terjadi pada kita."
Tatapan dari ratusan pasang mata membuatku tak berani menimbulkan gerakan mendadak. Di antara semua tatapan itu, aku tidak bisa mengabaikan nagaku yang berada tepat di depan mata.
"Aku akan membawamu ke sana." Avru menunjuk pulau yang didarati para iltas. Meski sorot ganas naga lain sempat membuatnya ragu, Avru mengabaikan semua itu dan maju pelan-pelan. Geraman para naga mengiringinya, siap menyerang Avru kalau dia sampai menunjukkan ancaman.
Ketika mendekati daratan yang dituju, aku berkata pada Avru, "Biarkan aku turun sendiri."
"Tapi—"
"Ini tidak akan aman bagimu, Avru. Aku bukan ancaman bagi para naga," kataku.
Naga ur itu mendengus. "Entah kenapa aku pernah mendengar alasan yang mirip sebelumnya." Avru akhirnya setuju dan memiringkan tubuh, membiarkanku turun.
Sebelum sempat turun dari Avru, Immy menarikku ke dalam pelukannya. "Hati-hati," dia berbisik lirih, meski suaranya terdengar keras bagiku di tengah keheningan yang mencekik. Aku cuma mengangguk samar dan balas memeluknya secara singkat, lalu memijakkan kaki ke antara rerumputan.
Napas yang kukeluarkan terdengar keras. Bibirku bergetar sampai aku tak yakin bisa bicara. Tanganku kehilangan tenaga dan kakiku terasa seperti agar-agar ketika melangkah.
Beast tidak lagi menurunkan kepalanya ke arahku. Justru dia semakin menegakkan tubuh. Sekadar menoleh ke bawah pun dia enggan. Hanya matanya yang mengikuti pergerakanku.
Aku melepas sabuk senjata yang hanya memuat belati, kemudian menjatuhkannya begitu saja sambil berjalan. Kutunjukkan bahwa diriku cuma manusia biasa. Tanpa naga, tanpa senjata, tanpa sihir.
Beast mendenguskan tawa sinis dengan sudut mulut melengkung ke atas. "Menyesal sudah meninggalkanku, Cassidy?" Geraman yang mengiringi suara rendahnya membuat bulu kudukku meremang.
"Aku tidak pernah meninggalkanmu," kujawab dia tanpa tergesa, mengucapkan setiap kata dengan jelas dan tenang meski suaraku hampir tak keluar. "Naga Agung yang—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Iltas 2: Dragons of Dracaelum
FantasyMenjadi Penunggang Naga adalah hal paling menyenangkan! Begitulah dugaan Cassidy pada awalnya. | • | Setelah sekian lama tinggal di New Orleans sebagai remaja biasa, akhirnya Cassidy bisa menjalani hidup sejatinya sebagai Penunggang Naga di Andarmen...