20

252 63 10
                                    

Pertemuan tadi diakhiri dengan ketegangan antara aku dan Naga Agung. Setelah balasan terakhirnya, dia langsung memanggil Saar dan memintaku dibawa pergi. Ekatza itu diam saja, mungkin karena dia sudah menguping dari balik tembok sihir. Bisa juga karena dia memang tidak suka ikut campur dalam urusan Naga Agung.

"Bagaimana?" Beast bertanya setelah aku diturunkan Saar.

Aku mengedikkan bahu. "Berjalan baik, kurasa."

"Biasanya wajahmu selalu menyiratkan raut yang sama setiap kali kau baru saja mempersulit hidup."

Aku menggerakkan kepala perlahan dengan arah tak jelas, antara mau mengangguk dan menggeleng, tapi akhirnya memutuskan untuk diam saja. "Aku cuma tegang."

Tuduhan Beast kemarin memang tidak ada salahnya, bahwa Naga Agung mencoba mengorek informasi dari penunggang. Lebih buruknya lagi, dia menyelipkan tuduhan yang terkesan menyudutkan kami. Sayangnya aku pun kehabisan kata untuk membalasnya.

Sekembalinya ke pulau kami, Immy sedang duduk sendirian di dekat rumpun bunga, sibuk pada kertas dan pensilnya. Ketika menyadari kehadiran kami dari jauh, kulihat dia sibuk menyusun ulang kertas gambarnya dan menyelipkan beberapa lembar di bawah paha.

"Berjalan lancar?" tanya Immy. "Cepat sekali kalian kembali. Kupikir ini akan berlangsung seharian."

"Sudah hampir dua jam lebih," kataku. Baru kusadari kalau Naga Agung mengeluarkanku lebih cepat daripada Beast. "Sedang apa?"

Immy menunjukkan kertasnya, memperlihatkan sketsa dari pulau yang kami tempati.

"Tidak mencari inspirasi di bawah sesemakan lagi?" Aku bersedekap. "Atau mungkin menghampiri teman-teman nagamu itu?"

Immy memejamkan mata seraya meringis pelan. "Aku tahu kau akan membahasnya."

"Kau beruntung para naga tidak mencurigaimu," hardikku. "Bagaimana bisa kau bertelepostasi begitu saja ke gua naga dan menanya-nanyai mereka?! Kita bisa saja pergi bersama."

"Kupikir kau dan Beast punya urusan lain. Jadi aku mencoba pergi sendiri. Toh, Azure dan Opal tertarik padaku." Immy mengeluarkan kertas-kertas yang tadi dia sembunyikan, lalu menarikku duduk di sebelahnya. Sebuah senyum miring terlukis di wajah sang penyihir. "Kau akan berterima kasih padaku, Cassie."

Kuamati kertas-kertas di tangan Immy yang memuat sketsa naga. Selain itu, ada pula sketsa permata naga Dracaelum beserta coretan-coretan berantakan.

"Naga Dracaelum punya sihir dalam diri mereka, tapi sama seperti naga di Andarmensia, mereka tidak bisa mempergunakan sihir itu secara maksimal. Bahkan, mereka tidak punya senjata pertahanan diri seperti yang dimiliki naga Andarmensia. Maka, permata ini berfungsi sebagai penguat dan pemancar agar sihir mereka dapat digunakan," tutur Immy. "Umumnya sihir mereka melingkupi kekuatan perlindungan serta kekuatan untuk memperkuat serangan. Tapi mereka bisa merapalkan mantra tertentu juga, misalnya teleportasi."

"Bagaimana bisa permata itu membuat seekor naga lebih kuat dibanding naga lain? Apakah mereka perlu latihan atau semacamnya? Tidak mungkin Naga Agung menjadi seperti sekarang tanpa sebab apa pun," kataku.

"Aku tidak sempat menanyakannya. Asal usul permata naga pun belum kutanyakan. Kalau mendesak terlalu jauh, bisa-bisa mereka malah tidak mau bicara lagi."

Aku menepuk bahu Immy, "Ada kalanya aku mengagumi kenekatanmu."

Immy memutar bola mata, "Sungguh, betapa manisnya pujian dari gadis yang baru saja memarahiku."

"Kalau kau terkena masalah, kami semua akan kelabakan karena tidak tahu apa pun. Setidaknya beritahu dulu rencanamu." Kukembalikan kertas sketsa kepada Immy.

Iltas 2: Dragons of DracaelumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang