Mimpi Buruk

89 8 0
                                    

Matahari bersinar sangat terik pada siang hari ini membuat keempat perempuan yang sedang berjalan-jalan santai memutuskan untuk berisitirahat dan makan siang terlebih dahulu.

"Gila sih tadi, untung gue gak keserempet," ujar Tarasnya dengan wajah yang terlihat masih terkejut.

"Tau ih, make motor gak kira-kira tuh manusia gila," timpal Ansya yang kesal dengan salah satu pengendara motor yang mengebut dan hampir menyerempet Tarasya.

"Udah-udah, bumil jangan ngegas ya ... abisin baksonya itu," ucap Cavilla kepada Ansya.

Ansya mendengkus kesal, lalu melahap baksonya dengan lahap sekali. Cavilla tersenyum menatap Ansya yang menggemaskan sekarang, kini pipinya mulai chubby seperti bayi.

Dering telepon membuat keempat perempuan itu mencari handphone siapakah yang berbunyi.

"Gue," ujar Cavilla dan semua mengangguk.

Bangkit dari duduknya dan pergi menjauh dari teman-teman, Cavilla mulai menggeser ikon hijau di layar handphonenya dan mendekatkannya pada telinga.

"..."

"Gue gak apa-apa,"

"..."

"Bulan depan, mungkin,"

"..."

"Iya elah, dah!"

Cavilla pun memutuskan panggilan itu secara sepihak dan kembali bergabung bersama teman-temannya.

"Siapa?" tanya Nadine.

"Manusia unfaedah," jawab Cavilla disertai kekehan, Nadine hanya mengangguk-angguk karena itu pasti Gavino.

****

Pukul 20.34 malam.

Lilin-lilin menghiasi rumah Cavilla karena mati lampu secara tiba-tiba. Panas, itulah yang dirasakan Cavilla saat ini dan akhirnya ia memutuskan untuk pergi keluar rumah untuk menyejukkan diri.

"Tevan," gumamnya.

Cavilla teringat dengan kenangan-kenangannya pada masa SMP sebelum pindah, lalu SMA di sana dan bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan.

Mata ia pejamkan seraya menikmati semilir angin dan mulai berkhayal sesuatu yang entah mungkin terjadi atau tidak akan terjadi.

***

"Jangan ke sana!" teriak Gavino kepada Cavilla yang berlari menuju rumah Tevan.

"Gak mau," ucap Cavilla dan menjulurkan lidahnya.

Cavilla terus berlari dengan kencang sampai tiba-tiba langkah kakinya terhenti di sebrang rumah Tevan. Matanya berlinang air mata, dadanya terasa sesak melihat pemandangan yang kurang mengenakkan saat ini.

Gavino yang akhirnya sampai pun ikut terdiam melihatnya.

"Bodoh," umpat Gavino.

Terlihat Tevan yang sedang berpelukan dengan Liana. Cavilla melangkah perlahan untuk menjauh meninggalkan tempat itu dan diikuti Gavino karena Gavino merasa khawatir dengan keadaan Cavilla jika diabiarkam sendirian.

"Tevan jahat!" Kesal Cavilla.

"Udah, ini udah takdirmu. Kan masih ada 'dia',"

Cavilla masih menangis. Gavino bingung harus berbuat apa lagi setelah ini.

"Dia jahat!"

"Jahaaaatttt!"

"Woy!"

"Huaaaaa!"

Bruk!

"Aduh," rintih Cavilla.

Cavilla baru saja bermimpi dan dikageti oleh Gavino sampai ia terbangun, lalu terjatuh dari kasurnya.

"Mimpi apaan lo?" tanya Gavino.

Cavilla berdesis. "Lo ngapain di sini sih? Ngagetin pula, bukannya kerja ke kantor lo!"

"Dih, ngegas. Inget umur bentar lagi bau tanah, jangan kebanyakan marah-marah," ucap Gavino, "Gue lagi libur nih, makanya pagi-pagi ke sini mau ajak lo minum es cendol di mang Suep,"

"Males. Bantu gue cari kerjaan aja deh. Pengen kerja gue tuh, berasa lulusan sarjana gue kayak gak ada gunanya banget gitu," ucap Cavilla.

"Emang sama ayah lo boleh?" tanya Gavino.

"Iya sihh, tapi ahhhh ... sebel banget!"

Cavilla pun mendorong Gavino keluar dan mengunci pintu kamar.

"Cavilla!" teriak Tevan.

"10 menit, mau mandi!" balas Cavilla berteriak.

Setelah 10 menit berlalu. Cavilla dan Gavino akhirya berangkat menuju ke tempat penjual es cendol yang terenak di daerahnya itu.

"Gav,"panggil Cavilla dengan sedikit ragu.

"Apa? Mau beli dua esnya?" tanya Gavino.

"Gue mau cerita nih. Mimpi buruk," jawab Cavilla.

Gavino mengerenyitkan dahinya. "Apa? Mimpi buruk?"

Kemudian Cavilla menceritakan tentang mimpinya semalam hingga selesai tanpa ditutup-tutupi.

"Cuma mimpi, tenang Villa. Its okay," ucap Gavino, lalu mengusap kepala Cavilla dengan lembut.

"Tapi gue takut," cicit Cavilla dan Gavino hanya tersenyum kecil.

*****

Pukul 15.47 sore. Rumah sakit sudah mulai sepi dengan pasien dan Tevan mulai merenggangkan otot-ototnya karena dirinya sudah kelelahan.

Ia pun bangkit dari tempat duduknya dan berniat untuk pergi ke kantin rumah sakit, tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat Liana menarik jas putihnya.

"Kemana?" tanyanya.

"Kantin. Lo kerja aja," jawab Tevan dengan nada dingin, lalu pergi dari sana.

Liana terdiam sembari menatap punggung Tevan yang semakin menjaub dan menghilang dari menglihatannya.

"Cavilla itu ...."

****

Hayo, kira-kira apa yang akan terjadi lagi ya?
Kalian lebih suka yang mana?

Tevan & Cavilla?
Gavino & Cavilla?
Tevan & Liana?
Gavino & Liana?

Dia dia dia dia ><

Huhuhu akhirnya author up lg jg

Jangan lupa voment ya ^-^
Masukan ke RL atau perpustakaan kalian juga dan share ke sosmed kalian agar pembaca semakin banyak hihihi

See u♡

Lantas: Squel Aku Benci Orang Ketiga [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang