Sudah satu Minggu lebih seorang pria selalu berada di depan rumah Cavilla meski Cavilla tidak menemuinya ia tetap sering ke sana menunggunya keluar.
Pagi ini adalah hari ke sembilan Cavilla melihat lelaki itu dari balkon kamarnya. Rasanya kasihan, tetapi juga sudah terlanjur terlalu kecewa terhadap orang tersebut.
Cavilla memperhatikannya, lalu berbalik kembali memasuki kamarnya dengan helaan napas yang panjang. Kemudian ia duduk di tepi kasur sembari memperhatikan jari-jarinya yang lentik.
"Gak boleh luluh."
Cklek
Boy membuka pintu kamar Cavilla. Cavilla menoleh ke arahnya dan jari telunjuknya terangkat dengan matanya yang terpejam meminta agar Boy tidak berbicara, karena ia tau jika Boy akan berbicara soal Tevan yang berada di luar sana sejak lama.
"La, seenggaknya suruh dia buat per--"
"Enggak Boy, enggak! Aku gak mau ketemu dia," potong Cavilla dengan suara yang bergetar seperti ingin menangis.
Boy terdiam mendengar suara Cavilla yang seperti itu, tangannya meraih tangan Cavilla sambil berjongkok mencoba menatap wajah Cavilla yang kini tengah menunduk. Raut wajahnya terlihat sedih dan masih kecewa.
"Berlarut-larut terus enggak akan bikin semuanya selesai La," ucap Boy sambil mengenggam tangan Cavilla dan mengelusnya.
Seketika keadaan menjadi hening, kemudian Cavilla menarik tangannya dari tangan Boy dan berjalan pergi dari sana dengan langkah yang sedikit cepat.
Gerbang ia buka dan kini Cavilla bertatapan dengan sosok pria itu yang sangat membuatnya kecewa.
"Cavilla." Tevan berjalan ke arah Cavilla yang tepat berada di pagar rumahnya.
"Berhenti di sana!"
Seketika langkah Tevan terhenti dengan rasa sakit di dadanya yang tiba-tiba terasa ketika mendengar suara kencang dari Cavilla kepadanya.
"Diam di sana dan bicara," ucap Cavilla dengan dingin.
"La, ini semua gak seperti yang kamu pikirin. Liana itu beneran cuma sebatas temen kerja, La," jelas Tevan seraya mendekat ke arah Cavilla dengan perlahana.
"BERHENTI DI SANA!" teriak Cavilla, "Temen? Temen kok ngelamar? Oh, saling cinta ya? Gini amat jadi Cavilla," lanjutnya dengan air mata yang tiba-tiba mengalir.
Cavilla menghapus air matanya kemudian menatap Tevan.
"La, denger---"
"Lalu anak kecil yang kemarin, anak kamu bukan? Iya 'kan?" potong Cavilla merasa muak.
Tevan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu ia berlari dan memeluk Cavilla. Cavilla meronta-ronta dan memukul-mukul tubuh Tevan hingga akhirnya kekuatannya melemah karena kekuatan Tevan lebih kuat darinya.
"Maaf La, aku enggak pernah cerita, terkesan berubah, maaf La," ucap Tevan dengan tangisnya.
"Cuma Cavilla cantik yang berhasil meluluhkan hati Tevan yang dingin ini, jadi aku mohon jangan tinggalin aku untuk ketiga kalinya, La," lanjut Tevan sembari mengusap-usap surai hitam nan lembut milik Cavilla.
Tevan selalu merindukan Cavilla. Caranya berbicara, aroma wangi tubuhnya bahkan semuanya ia sukai dari Cavilla. Baginya Cavilla adalah yang terbaik, tetapi semua kebenaran ada pada Tevan dan hanya Tevan, Liana dan keluarga merekalah yang mengetahui kebenarannya.
Terdengar suara sesegukan dari Cavilla sebelum akhirnya tububnya ambruk dalam pelukan Tevan. Tevan yang menyadarinya langsung panik dan membawa Cavilla ke dalam rumahnya dengan mengendongnya.
***
Mengenggam tangan Cavilla. Itulah yang Tevan lakukan sejak tadi sembari menunggu Cavilla siuman. Sudah dua jam lamanya ia menunggu bahkan ia tidak berniat untuk pulang sama sekali.
"Secapek itu ya, La? Kamu sampe enggak bangun-bangun," lirih Tevan.
"Maaf, aku salah. Tapi kamu udah buka surat dari aku?" tanya Tevan kepada Cavilla yang sudah jelas-jelas tidak akan menjawabnya.
"Dia gak buka surat dari lo, dia taruh di laci. Gue udah suruh dia buka tapi itu kembali lagi sama dia mau buka atau enggak," ujar Gavino yang sedari tadi memperhatikan Tevan.
Hati Gavino merasa sakit. Jika dibilang ia masih menyanyangi Cavilla, itu jelas tapi ia sadar akan posisinya terutama ada Boy kini yang menurutnya pantas untuk Cavilla. Di sisi lain juga Cavilla sudah menganggapnya sebagai kakak.
Tevan yang mendengar penjelasan dari Gavino hanya diam saja dan menatap wajah Cavilla dengan sendu dan sakit.
"Semarah itu dia?"
"Gue kalo jadi lo, mungkin gue lebih baik kehilangan segalanya daripada harus kehilangan Cavilla," ucap Gavino, lalu pergi dari sana meninggalkan Tevan dengan Cavilla.
Gavino berpapasan dengan Boy, tetapi tangannya dicekal.
"Lebih baik kita ke ayahnya Cavilla, dia lagi ngopi kita temenin pasti sebenarnya dia lagi khawatirin Villa," ajak Gavino dengan senyum anehnya.
Boy berpikir sejenak dan kemudian ia menyetujui ajakan Gavino tersebut untuk menemani ayahnya Cavilla yang sepertinya sedang mengkhawatirkan Cavilla yang sedang terbaring di dalam kamarnya.
Ayah Cavilla berada di ruang tamu sembari menatap figura yang ia pegang dan sesekali ia elus penuh rasa sayang.
"Ibunda, selalu tenang di sana ya. Ayah akan berusaha untuk lebih menjaga anak semata wayang kita yang berharga, meski semua pilihan ada pada Cavilla,"
Boy dan Gavino yang mendengar itu langsung saling pandang dan kembali mendekati ke arah ayah Cavilla untuk menghibur.
"Ayah yang tampannnnnn!" teriak Gavino.
***
C
avilla menatap Tevan yang tertidur. Entah sudah berapa jam ia pingsan, sekarang Cavilla hanya bisa menatap Tevan.
Perasaannya kini bercampur aduk tidak jelas, antara sedih, kecewa, senang. Pikirannya selalu terpaku pada momen-momen yang membuat Cavilla merasa sakit.
"Van, harusnya saat gue buka mata lo pergi. Hati gue sakit liat lo di sini," lirihnya.
~~~~~~~~
*

KAMU SEDANG MEMBACA
Lantas: Squel Aku Benci Orang Ketiga [ON GOING]
ChickLit{Squel Of Aku Benci Orang Ketiga!} This Love->Lantas *** Masih ingat dengan kisah Cavilla? Dia sekarang sudah lulus menjadi seorang sarjana dan sudah kembali ke Indonesia. Kini Cavilla bertemu dengan kawan-kawan lamanya termasuk Tevan. Kisah mereka...