Pagi ini Cavilla tengah bersama Boy. Awalnya Cavilla meminta Gavino untuk menemani dirinya bersama Boy, tetapi lelaki itu menolak karena ada rapat penting antar perusahaan bahkan hingga Cavilla merengek tetap saja Gavino menolak dan langsung pergi meninggalkan Cavilla bersama Boy.
Bolehkah Cavilla jujur sekarang? Ia merasa bingung karena kini Boy berada di Indonesia dan ia takut Boy tahu soal Tevan--kekasihnya.
"La, kamu pacar aku. Kalau punya masalah bilanh?" tanya Boy yang akhirnya membuka suara.
Boy sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Cavilla bahkan spagetti yang Cavilla pesan hanya ia aduk-aduk saja. Wajah perempuan itu pun terangkat menatap Boy dengan mata yang berkaca-kaca.
"Eh, kenapa?" tanya Boy yang khawatir.
"Boy maafin aku," tangis Cavilla yang membuat pengunjung menatap ke arah meja mereka.
"Aduh ... jangan nangis dong," ucap Boy yang merasa tak enak ditatap oleh pengunjung.
"Boy a-aku---"
"Villa,"
Suara itu memotong ucapan Cavilla. Ia kenal dengan suara itu. Suara itu langsung membuat tubuh Cavilla menegang seketika. Wajahnya langsung memucat.
Cavilla menatap ke arah suara itu dan benar saja itu adalah Tevan.
"Tevan," ucap Cavilla sambil bangkit dari duduknya.
"Kamu ngapain sama dia?" tanya Tevan dengan wajah yang dingin seperti dulu.
"A---"
"Gue sepupu jauh dia," jawab Boy membuat Cavilla tertegun.
Tevan langsung tersenyum dan mengangguk-angguk paham.
"Duduk, bro," ujar Boy.
Tevan langsung duduk di sebelah Cavilla. Sedangkan Cavilla hanya tersenyum canggung, kemudian menatap Boy yang sedang memainkan handphone-nya penuh rasa bersalah.
Ting!
Boy♡
[Aku udah tau semuanya.]
Deg!
Sungguh ini benar-benar membuat Cavilla merasa semakin merasa bersalah kepada Boy ketika membaca pesan tersebut.
Kemudian ia dengan cepat memasukkan kembali benda pipih tersebut ke sling bag biru muda miliknya.
Matanya menatap Boy yang tersenyum padanya, rasanya hatinya merasa sakit.
"Nama lo siapa?" tanya Tevan.
"Gue? Boy yang cakep bagai dewa penyelemat," jawab Boy dengan percaya diri.
"Apa sih lo, pede banget!" cetus Cavilla kemudian terkekeh.
Cavilla melirik Tevan kemudiab bertanya, "Gak kerja?"
"Ohh, enggak. Ada koas sama beberapa dokter lainnya buat ngebimbing. Aku enggak ikut, paling sekarang jadwalnya hari Selasa, Rabu dan Jum'at," jelas Tevan dan dibalas anggukan paham.
Tiba-tiba terdengar dering telepon dari handphone milik Boy. Kemudian Boy ijin untuk mengangkat telepon dahulu.
Tevan memeluk Cavilla dan menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher milik Cavilla sehingga ia dapat mencium aroma lemon dari tubuh Cavilla.
"La, percaya sama aku ya. Aku gak macem-macem sama yang lain kok," ucap Tevan yang membuat perasaan Cavilla menjadi tidak enak.
"Van, lepas pelukkannya dulu deh," ucap Cavilla dengan lembut.
Tevan melepaskan pelukkannya dan menatapnya lekat.
"Aku selalu percaya sama kamu, selalu," ujar Cavilla.
Netra Tevan menelisik wajah Cavilla. Ia melihat jejak air mata pada wajah cantik kekasihnya itu, tangannya terangkat mengelus jejak air mata itu.
"Sepupu kamu buat kamu nangis?" tanya Tevan yang membuat Cavilla teringat kembali jika tadi ia habis menangis.
"Aku ... iya, tapi gara-gara Gavino! Dia masa ninggalin aku sama curut satu itu!" sebal Cavilla.
Baiklah, Cavilla mulai berakting untuk membohongi Tevan agar tidak curiga kepadanya.
"Cengeng banget ih." Tevan mencubit gemas pipi kekasihnya tersebut hingga membuat pipi Cavilla karena malu.
"La, aku harus balik."
Boy yang baru datang, langsung kembali pergi meninggalkan mereka. Cavilla dibuat kebingungan sekarang, ia harus mengejar Boy atau tetap bersama Tevan agar menghindari kecurigaan.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba langkah Boy terhenti dan menatap Cavilla.
"Kamu temenin Tevan, oke? Bye!"
Boy pun kembali melanjutkan langkahnya dengan cepat sekali hampir terlihat seperti berlari.
***
Di malam harinya Cavilla berjalan-jalan sendiri. Ia tidak ijin kepada kedua orang tuanya karena pasti ujung-ujungnya dirinya akan dilarang untuk pergi sendirian. Sambil berjalan perempuan itu bersenandung kecil.
Pikirannya terasa kacau sekali sekarang. Antara harus memilih Boy ataukah Tevan, ia hanya bisa menunggu waktu yang menjawab saja.
Jaket yang Cavilla pakai adalah pemberian dari Boy setelah ia sembuh total karena itulah janji Boy untuk memberikannya sebuah jaket yang Cavilla inginkan.
"Tuyul!" teriak sesesorang di belakang Cavilla.
Cavilla yang mendengar itu langsung saja berlari karena mendadak ketakutan. Ia beranggapan ada tuyul nyata, makanya ia berlari dengan kencang.
"Elah, malah kabur," ucap seorang lelaki sambil menatap kucing kecil abu-abunya yang berlari.
Setelah berlari cukup jauh. Cavilla berhenti tepat di depan rumah Tevan, padahal tak ada niat sedikit pun untuk pergi ke sana. Semua gara-gara tuyul.
Cavilla mengatur napas yang tersengal-sengal dan duduk di dekat pagar rumah keluarga Tevan yang cukup besar. Kakinya ia luruskan, kemudia matanya menatap langit. Sungguh dia merasa lelah karena berlari.
"Abis olahraga, Bu?" tanya Tevan yang berada di pagarnya.
Tevan sudah berada di sana cukup lama dan tiba-tiba ada Cavilla yang baru selesai berlari membuatnya tidak ingin pergi masuk ke dalam rumah.
Lelaki itu mengenakan kaos putih polos dan celana selutut. Cavilla menatap Tevan dan menunjukkan deretan giginya.
"Dikejar tuyul tadi," ucap Cavilla yang membuat Tevan terkejut dan tertawa.
"Ayo masuk! Dari pada dikejar tuyul lagi!"
***
Haiii jangan lupa untuk voment ya!
Share, masukkan ke perpus atau RL kalian juga yaaaaa!Lapyu so muchhhh
KAMU SEDANG MEMBACA
Lantas: Squel Aku Benci Orang Ketiga [ON GOING]
ChickLit{Squel Of Aku Benci Orang Ketiga!} This Love->Lantas *** Masih ingat dengan kisah Cavilla? Dia sekarang sudah lulus menjadi seorang sarjana dan sudah kembali ke Indonesia. Kini Cavilla bertemu dengan kawan-kawan lamanya termasuk Tevan. Kisah mereka...