#1

799 75 1
                                    

Hana baru pulang dari mengantarkan Aisyah ke sekolahnya, ketika mendapatkan mobil Hanif sudah terparkir di halaman rumah mereka. Dengan dahi  berkerut, Hana membuka pintu dan tidak mendapati siapa- siapa di dalam. Hanya saja, saat akan menuju dapur, Hana melihat kunci mobil dan ponsel Hanif tergeletak di atas meja.

Hana menatap tangga yang menghubungkan ke lantai dua. Mungkin Hanif mengambil sesuatu di atas.

Piring-piring masih belum di cuci pagi ini. Karena tadi anak-anak mendadak berangkat lebih pagi, sehingga Hana tidak punya waktu untuk bersih-bersih.

Bunyi telapak kaki yang bersentuhan dengan tangga, terdengar. Sepersekian detik, Hanif sudah berada di lantai dasar.

"Sudah pulang?" Tanya Hanif, mendapati Hana sudah kembali sibuk dengan rutinitas hariaannya. Hanif mengambil kunci dan ponselnya, berjalan mendekati Hana.

"Sudah-" Hana menoleh sedikit. "Kamu gak kerja?" Tanya Hana.

"Kerja. Tapi kebetulan ada yang tertinggal di rumah. Makanya balik lagi--"

Melalui punggungnya, Hanif melihat Hana hanya mengangguk. Gemericik air terdengar berjatuhan di wastafel. Lalu bunyi gesekan kaca dengan kaca lainnya. Hana selesai mencuci piring. Melepas apron--seperti biasa--menggantungkannya kembali.

"Apa?" Tanya Hana saat mendapati mata Hanif tertuju, lurus menatapnya.

"Kamu kenapa, yang? Sakit?"

"Enggak. Memang kaya orang sakit, ya?" Balas Hana, balik bertanya.

"Entahlah, akhir-akhir ini, aku lihat kamu kurang  fokus. Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Kalau ada ceritalah! Aku siap mendengarkan--" Hanif menunjuk dadanya. "Dan ini tempat siap menjadi sandaran seandainya kamu ingin menangis!" Ucapnya, membuat Hana tersenyum tipis.

Mereka duduk saling berhadapan. Menatap satu. sama lain. Hana menghela napas pelan. Bingung memulai dari mana. Karena pada akhirnya, setiap keresahan ini datang, ujungnya tetap akan sama--sabar.

Hanif menunggu.

"Aku hanya lelah." Alih-alih menceritakan kegundahannya, hanya kalimat itu yang akhirnya meluncur dari bibir Hana. Ujung bibir Hanif tertarik sedikit. Seperti mengerti arti kegelisahan istrinya, Hanif menyentuh punggung tangan Hana. Mengusapnya, lalu meremasnya pelan.

"Istitahatlah! Make your self happier! Gak ada yang bisa membuat kita lebih bahagia, selain diri kita sendiri. Jangan terlalu memikirkan sesuatu yang kita tahu jawabannya apa. Itu hanya akan membuat kita menuntut, lagi dan lagi. Lalu akan mempertanyakan kenapa, kenapa, dan kenapa? Dan berakhir menjadi hamba yang kufur nikmat."

Nyesss.

Hana tersentak. Dan sepertinya Hanif tahu apa yang merungsingkannya akhir-akhir ini. Ah bukan, sejak dari dulu tepatnya.

Apalagi kalau bukan.....

Anak.

#####

Setelah Hanif pergi, Hana masih terdiam di tempatnya. Merenungi ucapan demi ucapan yang terlontar dari mulut suaminya itu.

"Apa semua ini gara-gara kamu mengunjungi Rani tempo hari?" Tanya Hanif menelisik wajah istrinya.

Hana bergeming.

"Kalau diam, berarti iya." Hanif mendesah.

"Kita sudah menikah hampir lima tahun. Tapi, kita masih belum juga dikaruniai anak. Darah daging kamu. Apa kamu tidak merasa ada yang kurang?" Tanya Hana, balas menatap Hanif.

"Bukankah mereka berempat sudah lebih dari cukup? Oke,, aku memang menginginkan memiliki anak dari darah dagingku sendiri. Tapi, kalau Allah masih belum menganggapku mampu, lantas aku bisa apa? Apa aku harus marah?"

"Tapi aku, merasa tidak bisa menjadi istri yang sempurna untukmu. Ardi dan Raihan--mereka sudah memiliki anak-anak sendiri. Sementara kamu, aku--?"

"Hana--?" Hanif mendekat. Memegangi kedua bahu istrinya, erat. "Bahagiaku itu ada bersama kamu. Bersama keempat anak-anak kita. Lalu, mengapa aku harus mencari kebahagiaan yang lain, yang keberadaannya saja belum jelas? Aku tidak mau menjadi suami yang menuntut kamu, sehingga membuat kamu terbebani. Anak? Kalau sudah waktunya Allah pasti akan kasih kita. Tapi mungkin waktunya belum sekarang!"

"Dan tolong, han! Jangan rusak kebahagiaan kita dengan pikiran-pikiran itu. Biarkan itu menjadi rahasia Allah. Lagi pula, kalau kamu terus-terusan memikirkan sesuatu yang belum terjadi, apa kamu tidak merasa menjadi Ibu yang tidak adil buat mereka berempat? Mereka akan berpikir, kamu tidak menyayangi mereka lagi karena sibuk dengan alam pikiranmu sendiri."

Hanif benar. Mungkin memang belum waktunya saat ini.

"Dan seandainya sampai ajal menjemput, kita masih tidak diberi kepercayaan itu. Kamu harus ingat satu hal, Han. Aku menikahi kamu, semata-mata bukan karena ingin memiliki anak darimu. Aku menikahi kamu, karena aku benar-benar ingin menghabiskan sisa umurku bersamamu. Terlepas suatu saat nanti kita hanya tinggal berdua, anak-anak sudah pergi meninggalkan kita. Percayalah, perkataanku ini tidak akan pernah berubah sedikitpun."

#####

Tbc

31 juli 2021

Maafkan untuk typo

YOU COMPLETE ME ( Sekuel CINTA H2-Life After Married)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang