#5

564 65 0
                                    

Setelah kejadian pe-er Kimia tadi. Sepanjang jam pelajaran sekolah, Shelly sukses mendiamkan Nadia. Bahkan, Shelly betah bertanya ke pada Anggun--yang duduk di belakangnya, hanya karena tidak jelas apa yang tertulis di papan tulis. Padahal, Anggun itu minus. Dan bukan tipikal siswa yang senang memperhatikan guru menerangkan pelajaran. Dari tadi saja kerjanya cuma memandangi cermin kecil di tangannya.

"Shel!!" Jerit Nadia begitu pelajaran usai, dan waktunya pulang. Shelly pura-pura tidak mendengar Nadia memanggilnya. Langkah kakinya semakin dia percepat, dan masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya di halaman parkiran sekolah.

Nadia menghembus napas kesal. Dia menjatuhkan tubuhnya di halte sekolah. Menunggu Hanif menjemputnya.

"Nadia ya?" Tegur seseorang yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Nadia. Kepala Nadia yang tadi sibuk menunduk memandangi lantai halte--terangkat.

Nadia memicingkan matanya, demi melihat orang di depannya karena sinar matahari tepat menusuk matanya.

"Nadia, kan?" Ulang sosok itu lagi. Laki-laki sebaya Hanif berdiri menjulang di depan Nadia. Dia menghalangi sinar matahari yang mengenai Nadia. Ragu, Nadia mengangguk. Rasa-rasanya Nadia tidak mengenal orang yang menyebut namanya barusan.

Laki-laki itu tersenyum. "Syukurlah! Saya kira salah orang." Jawabnya lega. Lalu memilih ikut duduk di samping Nadia. Merasa tidak enak, Nadia menggeser duduknya sedikit menjauh. Laki-laki di samping Nadia tertawa.

"Maaf, maaf!" Ikut menggeser tubuhnya menjauh. Mereka terdiam cukup lama. Bahkan saat sekolah mulai beranjak sepi dan Nadia merasa, Hanif terlalu lama menjemputnya. Beberapa teman yang melewati halte sekolah memandang Nadia dan bertegur sapa.

"Belum dijemput, ya?" Tanya laki-laki itu lagi, melihat Nadia yang bangun dari duduknya. Nadia tak menyahut. Entah mengapa dia tidak suka di tanya-tanya oleh orang asing begini. Apalagi, dari tadi laki-laki itu hanya diam dan menatapnya sekali-sekali. Seakan ada maksud tersembunyi yang akan lakukannya.

Untunglah, dari kejauhan Nadia melihat mobil Hanif datang. Nadia dengan setengah berlari, membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Meninggalkan laki-laki itu yang masih berada di posisi yang sama. Mata laki-laki itu menatap Nadia yang sudah berada di dalam mobil.

"Siapa itu?" Kepala Nadia yang masih menoleh ke kiri, membuat Hanif ikut-ikutan menoleh. Tapi karena jarak yang sedikit jauh, Hanif tidak bisa melihat wajah orang yang tengah mencuri perhatian Nadia itu.

"Nadia!" Panggil Hanif lebih keras. Membuat Nadia menolehkan kepalanya serta merta dan mendapati Hanif sudah menatapnya lekat. "Kamu kenapa? Apa orang tadi ganggu kamu?"

Nadia menggeleng. "Nggg--nggak, Pa!" Sahut Nadia cepat. Walau was-was, Nadia tidak ingin papanya cemas. Nadia juga tidak tahu, mengapa dia menjadi takut begini. Takut yang dia rasakan tiba-tiba saja datangnya. Sebelum-sebelumnya tidak pernah begini. Alih-alih, pikiran-pikiran tadi akan semakin mengganggunya, Nadia memilih membuka tas, dan mengeluarkan buku sekolahnya. Memandangi catatan-catatan kimia yang tadi di pelajarinya. Ah, ia jadi kepikiran Sherly lagi.

######

"Ayunda! Makanannya dihabiskan dulu! Baca novel bisa kalau sudah selesai makan!" Beritahu Hana, melihat Ayunda tak menggubris perkataannya. Hana menahan napas. Ayunda semakin ke sini, semakin sering mengabaikan perkataannya. Baru tadi sore, saat pulang sekolah, Ayunda melempar sepatunya begitu saja tanpa menaruhnya di tempat sepatu. Lalu berlari begitu saja masuk ke dalam kamar. Tidak keluar lagi.

Hana mengambil novel itu paksa. Menyimpannya di meja dapur. Melihat novelnya diambil begitu saja, Ayunda memberengut. Tapi tidak bisa membantah karena dia tahu, semakin dia membantah, Hana akan semakin tidak akan mengembalikan novelnya. Jadi dari pada tidak bisa membaca novel lagi, lebih baik dihabiskan saja makanan ini.

Akhirnya, makan malam itu selesai dengan cepat. Setelah membereskan meja makan--karena malam ini tugas Ayunda yang membereskannya--Hana mengembalikan novel milik anaknya itu, lagi.

"Lain kali, Mama gak mau kamu makan sambil baca novel lagi, ya?" Tekan Hana, menatap Ayunda lekat.

"Trus, kalau lagi ujian, makan sambil baca buku gimana? Gak boleh juga?" Ayunda malah melontarkan pertanyaan lain.

"Sama saja! Nggak boleh juga." Desis Hana. Mulai lelah. Ayunda semakin kritis memojokkannya dengan seabrek pertanyaan yang kadang lelah untuk sekedar Hana jawab.

"Kenapa, Ma?" Tanya Ayunda tidak puas. Harus ada alasan dibalik kata tidak itu. Selama ini, orang dewasa hanya bisa mengatakan "Tidak, tidak, tidak" tanpa pernah memberikan alasan di balik kata tidak itu.

"Karena itu akan mengganggu makannya kamu, Ayu!"

"Tapi kan lagi belajar, Ma. Kalau gak belajar, nanti gak bisa jawab soalan di sekolah." Jawab Ayu tak mau kalah.

"Makanya, kalau belajar itu dicicil dari jauh-jauh hari, biar gak keteteran."

"Emang Mama gitu juga waktu sekolah?!" Pertanyaan Ayunda membuat Hana naik pitam. Bukannya menjawab, Hana malah membentak Anaknya itu.

"Bisa gak sih, kamu itu kalau dikasih tahu, di dengar dan dikerjakan aja! Kalau dikasih tahu orang tua itu, tandanya demi kebaikan kamu juga!" Tekan Hana dengan emosi memenuhi rongga dadanya.

Hanif yang baru turun dari lantai dua, menoleh ke arah dapur. Suara Hana yang terlalu dominan, membuat Hanif ikut turun ke dapur.

"Hana, kamu kenapa?" Tidak menjawab pertanyaan suaminya, Hana memilih pergi meninggalkan Hanif dan Ayunda.

"Kamu bikin kesalahan lagi?" Tanya Hanif, begitu dia dan anak sambungnya itu, masih berdiri di dapur. Ayunda tak menyahut. Hanif menghela napas. "Ayo cerita, siapa tahu, Papa bisa bantu kamu." Hanif mengajak Ayunda duduk di meja makan.

#####

Hana memilih untuk tidur, saat dirasakannya, kasur di sebelahnya bergoyang. Hanif sudah berada di posisi nyamannya. Menyandarkan kepalanya ke dinding, tapi masih dengan mata yang belum terpejam. Diliriknya Hana yang berbaring memunggunginya itu. Hanif tahu, istrinya itu belum tidur. Hanya sedang pura-pura tidur.

"Ada yang mau kamu ceritakan, Han?" Tanya Hanif membuka percakapan, setelah dirasanya Hana tetap betah dengan posisi itu.

"Kalau ada, cerita saja. Aku siap kok, jadi pelampiasan." Ucap Hanif mencoba mencairkan suasana, membuat posisi yang memunggunginya tadi, berbalik menghadapnya. Melalui temaramnya cahaya lampu, Hanif masih bisa melihat gurat letih di wajah istrinya itu. Hanif tahu, Hana lelah. Lelah karena mengurus mereka berlima. Belum lagi dengan segala tetek bengek anak-anak yang kadang membuat emosi lepas kendali. Ya, jadi orang tua itu tidak gampang. Apalagi menjadi seorang Ibu yang sejatinya adalah madrashatul uula untuk anak-anaknya.

Hana menatap Hanif lama. Semua ini terlalu membebaninya. Entah mengapa, perasaan cemas itu selalu saja datang mengganggu. Baru saja dia bisa lepas dari rasa itu. Sekarang malah datang lagi. Dan itu hanya gara-gara ucapan santai seorang ibu-ibu yang tidak dia kenal.

"Kenapa?" Hanif memegang bahu istrinya itu. Hana masih saja diam, bahkan setelah sekian menit Hanif menunggu. "Kalau gak ada, kita tidur aja ya?" Hanif melorotkan kepalanya ke bantal. Tepat saat Hanif meletakkan kaca mata di samping tempat tidurnya, Hana mulai membuka mulutnya.

"Besok kita ke dokter, yuk!" Ajak Hana, membuat sebelah alis Hanif naik. Bingung.

Hana menghela napas. "Aku...mau kita kontrol lagi!"

Fix. Hanif tahu apa akar dari masalah yang membuat istrinya runsing lagi. Dan itu merembet ke masalah-masalah yang lain. Lelah, Hanif mengangguk.

"Oke! Kita ke dokter." Walau ada bagian dari hatinya tidak terima. Bukan, selama ini Hanif sudah berusaha untuk menerima. Dia pikir Hana juga akan begitu. Tapi, yang namanya perempuan memang selalu abu-abu untuk dimengerti. Dari pada Hana uring-uringan, maka Hanif memutuskan untuk menurut saja. Walau nanti hasilnya akan selalu sama. Ini semua demi menyenangkan hati istri sendiri.

Yah, tidak ada salahnya.

Oke. Pahala dan Sabar itu tidak mudah untuk dijemput.

#####

28 Agustus 2021

YOU COMPLETE ME ( Sekuel CINTA H2-Life After Married)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang