Hari ini adalah hari minggu, hari di mana semua orang berkumpul dengan keluarganya. Namun tidak dengan Dira, gadis itu terlalu malas untuk bergabung sarapan bersama ibu dan saudara tirinya.
Mereka jahat di mata Dira.
Tapi .. melihat Riska yang terus - terusan bermanja di rangkulan ayahnya, membuat dirinya geram dan ingin merebut kasih sayang ayahnya kembali.
Lebih baik berusaha untuk mendapatkan seseorang kembali, dari pada pasrah tanpa usaha dan malah membiarkan orang itu pergi meninggalkannya sendiri.
Karena, saat ini Dira masih bergantung kepada ayahnya. Kalau tidak ada ayahnya, ia akan tinggal di mana nanti?
Dira berjalan mendekati ketiga orang itu, yang tengah sarapan bersama.
"Ih, sarapan gak ngajak - ngajak." cibir Dira duduk di bangku samping Riska, yang membuat ketiga orang itu heran.
Pasalnya, Dira sedari dulu tak pernah mau diajak makan bersama. Apalagi, duduk berdampingan dengan Riska? Itu pasti hanya mimpi tentunya.
"Biasanya kamu gak mau diajak makan, Ra." kata Dewa.
"Maulah, Dira'kan juga manusia."
Nisa tersenyum manis. "Mama ambilin ya lauknya?"
Dira mengangguk semangat. "Boleh, Tan. Boleh"
"Ra."
Melihat Dewa menergurnya pelan, ia menutup bibirnya yang salah menyebut. "Eh, maksudnya boleh m - mah.."
Dira cengengesan, menutupi rasa sesak saat menyebut 'Ma' itu.
Nisa tersenyum geli, lalu menyendokkan nasi beserta lauk ke dalam piring Dira, dan di kasihnya kepada gadis itu.
"Thanks."
Ketiganya mulai makan dengan tenang, sesekali Dewa bercanda membuat mereka tertawa termasuk Dira.
Dira menyadari bahwa ayahnya itu diem - diem memperhatikannya, namun ia bersikap biasa saja seolah tak menyadari apapun.
"Kamu gimana sekolahnya, Ka?" tanya Dewa kepada Riska.
"Baik, yah. Kemarin ada pemilihan ulang ketua kelas, karena ketua kelas aku yang kemarin gak bener kerjanya. Dan pas di vote, banyak yang pilih aku." Riska bercerita.
"Oh ya? Pinter anak ayah." puji Dewa.
Dira mengigit bibir bawahnya, merasa sesak yang menjalar di dadanya. Sebutan itu .. adalah sebutan Dewa kepasa dirinya dulu saat masih menginjak bangku SMP. Dan kini, sebutan itu hanya berlaku untuk Riska, tidak untuk dirinya.
Dira yang tak mau kalah pun ikut bercerita. "Ih, Dira juga pinter yah. Dira kemarin ulangan hariannya daper sembilan puluh, seratus, sembilan puluh, seratus. Begitu.. terus. Sampe di mana Dira ditawain ikut olim, kira - kira Dira ikut gak yah?"
Dewa yang tadinya menatap Riska, kini teralih kepada Dira. "Loh, ikut dong. Kenapa enggak?"
"Tapi jauh, di singapura, Yah." keluhnya.
"Ah, serius kamu? Bohong ya?" tuduh Dewa, mengingat sifat Dira yang dulu suka berbohong tentang berita sekolahnya kepada dirinya membuat ia sedikit waspada.
"Ih, enggak! Enak aja, kali ini beneran. Dira ditawarin ikut olim gitu, tapi Dira bilang kalau Dira gak bisa ikut karena Dira gak tau cara naik pesawat ke sana nya." Dira cemberut.
Dewa dan Nisa seketika tertawa, merasa lucu dengan tingkah putri yang satu ini.
Riska yang melihat itu mengepalkan telapak tangannya, ia benci situasi ini. Di mana ayah dan mamanya malah asik mengobrol dengan Dira, sedangkan dirinya diabaikan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dira Adisthi
Teen Fiction"Hidup gue keras, yakin mau masuk ke hidup gue?" ucap seorang gadis. Dira Adishti, seorang gadis dengan segudang masalah di hidupnya, tangis menjadi saksi bisu kehidupannya, juga raganya yang entah sampai kapan bertahan di dunia ini. "Kangen Tuhan i...