32. Debat si sulung dan si bungsu---
Menjelang ujian akhir semester, siswa kelas dua belas selalu disibukan dengan berbagai macam kegiatan. Salah satunya yaitu mengerjakan tugas untuk mengisi nilai kosong. Ujian praktek di tiap mata pelajarannya yang terkadang membuat setiap siswa kewalahan.
Begitu pun Jeno. Kesehatannya belum benar-benar pulih, ditambah akhir-akhir ini dia lebih sering muntah. Daya tahan tubuhnya menjadi lemah, bahkan untuk sekedar pergi ke sekolah pun Jeno sudah tidak sanggup.
Moodnya sedang tidak bagus hari ini, ditambah keadaan rumah yang sangat sepi. Hanya ada Haechan dan dirinya. Semenjak kepulangannya dari rumah sakit, Jeno benar-benar mendapatkan banyak perhatian. Tentu saja hal itu membuatnya senang dan sudah pasti Haechan diabaikan.
"Lee Haechan tolong ambilin makan!" teriak Jeno.
Haechan yang tengah melamun di kursi ruang makan terkejut mendengar teriakan Jeno dari arah ruang keluarga. Dia menghembuskan nafasnya lelah, akhir-akhir ini tubuhnya menjadi cepat lelah, belum lagi dia yang diperlakukan layaknya pembantu oleh orang rumah terutama Jeno.
"Iya Kak."
Tidak ada yang ingin Haechan lakukan. Hidupnya sudah terasa hambar, bahkan Haechan sudah tidak memiliki gairah untuk hidup. Haechan, boleh mati saja nggak sih?
"Ini Kak. Echan ke atas dulu ya," pamitnya.
Setelah memberikan apa yang Jeno inginkan, Haechan segera melangkahkan kakinya ke atas. Di kamar, Haechan segera merebahkan tubuhnya seraya memegang dadanya yang terus berdetak dengan cepat.
"Hah."
"Echan sendirian lagi sekarang," gumamnya.
Haechan merasa sepi. Sekarang, tidak ada lagi panggilan tiap pagi dari Jaemin yang selalu menghubunginya, tidak ada pula suara Jaehyun yang memaksa untuk melakukan pengobatan. Semuanya berubah dalam sekejap.
"Kak Jaehyun udah cape kali ya."
"Tapi kok sakit banget," lirihnya.
Munafik jika Haechan berkata baik-baik saja. Padahal sebentar lagi hari ulang tahunnya, sejak kecil Haechan selalu berharap bisa merayakan ulang tahun yang ke-tujuh belas dengan orang-orang terkasihnya.
Tapi sepertinya harapan itu tidak bisa diwujudkan ya.
"Echan bingung harus ngasih kado apa buat Kak Jeno."
Tangannya meraih ponsel yang berada di atas nakas. Jemarinya bergerak lincah di atas layar ponsel mencari sesuatu pada situs web dengan pencarian 'kado yang cocok untuk kembaran'
Kegiatannya terhenti saat pintu kamarnya diketuk. Siapa, pikirnya. Mungkinkah itu kakaknya yang sudah pulang? Sebab Haechan mengunci pintu kamarnya.
"Sebentar."
Haechan beranjak lalu memutar kuncinya dan memegang gagang pintu untuk membukanya. "Kak Taeyong? Kenapa Kak?" tanyanya.
"Ikut Kakak."
Taeyong berlalu dengan wajah yang tidak bersahabat membuat Haechan dengan takut mengikutinya. Mereka berdua berhenti di balkon, Taeyong melihat Haechan yang tertunduk di hadapannya.
"Angkat kepalanya," titah Taeyong.
"Angkat Lee Haechan. Kakak mau bicara," ujar Taeyong lebih tegas.
Haechan mengangkat wajahnya yang langsung berpandangan dengan manik mata tajam kakaknya.
"Kamu Kakak suruh belajar ya bukan Kakak suruh pacaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tan 90° • Lee Haechan [End]
Fiksi PenggemarButuh waktu empat tahun untuk Haechan supaya penglihatannya bisa kembali normal. Tapi, kenapa setelah penantian panjangnya justru luka semakin banyak datang kepadanya? Bahkan, hanya butuh satu tahun untuk menjatuhkan Haechan ke dalam jurang yang san...