『Underground Jail』

112 33 9
                                    

"Tempatnya masih jauh tidak sih?"

Tanpa sadar, aku melontarkan pertanyaan itu dengan begitu ngegas. Sebenarnya aku daritadi sudah mengoceh dalam hati karena tidak sampai-sampai padahal hari sudah mau petang. Tapi ternyata ocehan dalam hatiku itu jadi kelepasan seperti ini saking gregetnya.

Akibat pertanyaanku, Daniel dan Hael langsung menghentikan langkah mereka. Kedua pasang mata itu langsung melihat kearahku secara terang terangan. Tiba-tiba aku jadi gugup.

"Sebenarnya sebentar lagi mau sampai. Tapi kalau tuan putri lelah, kita bisa istirahat disana sebentar." ucap Hael sambil menunjuk kearah pohon besar yang daunnya sangat banyak dan lebat.

"Oh? Kalau sudah mau sampai dilanjutkan saja."

Benar. Aku tidak boleh jadi beban mereka. Kalau meluangkan waktu untuk istirahat sebentar, nanti perjalanan akan lebih sulit karena hari sudah mau malam.

Tapi, walaupun aku berkata begitu, kedua pria yang sedang menatapku ini tidak ada yang melanjutkan langkahnya. Mereka seperti menunggu sesuatu.

Oh? Apa mereka bermaksud membiarkanku jalan duluan? Baiklah kalau be—

"Apa tuan putri mau saya gendong?"

Tawaran dari mulut Hael membuat mataku langsung membesar syok. Aku juga bisa merasakan suhu tubuhku mulai memanas.

"Bagaimana tuan putri? Mau saya gendong depan atau gendong belakang?" tanya Hael sambil menepuk dadanya dan punggungnya dengan menyesuaikan perkataannya.

Kenapa dia bisa menawarkan hal seperti itu dengan mudahnya?! Apakah di dunia ini, hal seperti itu adalah hal yang wajar? Kalau di dunia ku sih, pasti pihak wanita sudah kegeeran duluan kalau menerima tawaran seperti itu! Apalagi Hael ini menawarkan diri dengan mata penuh harapnya supaya diterima. Ditambah lagi wajah tampannya itu...

Kalau begini caranya bagaimana aku bisa menolak?

Ah. Tidak. Aku tidak mau jadi beban. Aku tidak boleh lemah seperti ini. Jangan terlihat menyedihkan, Seorin!

"Ti-tidak usah, Hael. Kakiku masih kuat kok!" tolakku beralasan.

Hampir sepuluh detik Hael hanya diam saja tidak merespon. Namun tak lama kemudian, dia menyunggingkan senyum sopannya lalu mengangguk pelan. "Baiklah kalau begitu, tuan putri. Tapi jangan sungkan bicara pada saya kalau ada apa-apa ya."

Aku membalasnya dengan anggukan.

Oke, Hael! Walaupun begitu aku tetap tidak akan membicarakan apa-apa padamu.

Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan lagi. Dan benar saja, dua puluh menit kemudian, Hael menyuruh untuk berhenti berjalan dan bilang kalau sudah sampai. Tapi begitu aku mengedarkan kepalaku ke sekeliling, aku tidak melihat tempat apa-apa selain pepohonan dan semak yang bertiupan angin.

Tempatnya ada dimana? Apa hanya mata orang tertentu saja yang bisa melihatnya?

Lalu tanpa sengaja aku melihat sebuah gundukan yang cukup besar. Dan ternyata dibawah gundukan itu terdapat tangga turun menuju pintu besi berlambang nomercy. Aku bisa melihat semua itu setelah Hael menyingkap daun yang menutupi jalurnya.

"Bagaimana? Mau masuk sekarang?" tanya Hael. Bukan padaku, tapi pada Daniel.

Ngomong-ngomong selama perjalanan Daniel irit sekali bicaranya. Biasanya dia yang paling bawel tentangku. Tapi tadi saat aku terlihat kelalahan berjalan, dia bahkan tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Rasanya sedikit menyebalkan.

"Tunggu sebentar. Kita harus cari tempat perlindungan untuk tuan putri dulu."

Loh? Tempat perlindungan untukku? Untukku saja nih? Kenapa?

1. 𝕷𝖔𝖛𝖊𝖗 𝕶𝖎𝖑𝖑𝖊𝖗Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang