Hehe, maaf ya baru muncul✌
Harusnya, cerita emang aku biarin gantung gitu. Tapi karena alhamdulillahnya beberapa dari kalian ada yang minta lanjut. Jadi bikin aku pengen lanjutin :(
Maaf banget kalau masih jauh dari ekspektasi kalian. Karena jujur, masih gedek banget sama kelakuan Jimin dulu😭. Jadi aku susah bikin moodnya, tapi akhirnya jadi🤭
Aku juga makasih banget buat kalian yang udah kasih vote dan bahkan comment. Juga nambahin ini ke list kalian😭 sayang kalian🖤
Enjoy..
Hal yang sebenarnya sudah terungkap. Secara beruntun menjadi jawaban dari semua teka-teki juga kesalah-pahaman yang ada.
Jimin rasa, Tuhan memang sengaja mempertemukan dirinya dengan Yonhee. Mengaturnya dengan sedemikian rupa, agar mengerti artinya beruntung.
Makam Taera yang semula terasa sepi, kini juga menjadi lebih bewarna. Lebih hangat. Yonhee yang akhirnya mengetahui kebenaran tentang Taera juga Aera, membuat jadwal sendiri. Quality time bersama katanya.
Mudah saja, sekedar kesana. Bercerita dan bernostalgia. Mengenang masa remajanya dahulu, sering mendapat pelajaran juga dari kakak kesayangannya.
“Kau harus pergi ya Tae?” Yonhee mengantar Taehyung di bandara. Bersiap mengucapkan kata perpisahan.
“Harus Ni, orangtuaku memutuskan untuk menetap disana” jam penerbangan sudah semakin dekat, para penumpang diperintahkan segera merapat.
Yonhee yang juga mendengar itu, mendekat kearah Taehyung. Memberi kesan baik untuk perpisahan mereka. Mereka saling memeluk satu sama lain.
“Maafkan aku ya, tidak bisa terus berada disampingmu” Yonhee menggeleng, “Terimakasih, sudah menjadi temanku” tak bisa disembunyikan lagi, air mata Yonhee keluar begitu saja.
“Sudah ah, malu tuh yang di idung juga keluar” Yonhee memukul Taehyung. Dengan segera Tae menggiring kopernya masuk ke jalur penumpang, melambaikan tangannya pada Yonhee sebentar sebelum sepenuhnya menghilang.
“Sudah puas?”
Yonhee memutar badannya cepat sembari mengusap bersih ingusnya. Jimin berdiri dengan tegak. Mengernyitkan keningnya karena melihat kejorokan Yonhee. Ia mengangguk dan pergi menggandeng tangan Jimin.
Hari demi haripun berlalu dengan ringan. Jimin yang awalnya sangat menolak Yonhee, telah membuka pintu hatinya. Berusaha menerima dan benar-benar mengikhlaskan Taera.
Tak dapat dipungkiri Yonhee juga merasa senang bukan main. Ia merasa cerita yang ia idamkan juga terjadi pada hidupnya.
Jimin sedang libur. Rumah yang dulu selalu sepi dan canggung. Kini mulai terasa hangat. Ia sedang menonton sebuah drama televisi yang ternyata juga drama kesukaan Yonhee.
Yonhee yang baru saja keluar dari kamarnya, mulai mendekat kearah Jimin. Sembari menggosok halus matanya yang masih berat. Benar juga, saat ini mereka belum satu kamar. Jimin bilang ia bersedia bila keduanya sudah benar siap.
Yonhee yang melihat drama kesukaannya dimainkanpun terkejut. Ia heran, siapa yang mau menonton drama dirumah selain dia. Perlahan tapi pasti, ia menemukan Jimin yang fokus pada layar. Yonhee sangat antusias melihat itu. Lantas, ia berlari kecil ikut mendesakkan pantatnya pada sofa yang ada.
“Sepertinya kita punya satu kesamaan”, tanya Yonhee menatap Jimin.
“Hm? Apa itu?” Jimin membalas tatapannya dengan teduh. Tatapannya berubah, tidak lagi tajam dan memerah.
Yonhee mengalihkan pandangannya kearah televisi, sembari bersandar. “Kau suka menonton drama ini kan? Janji”, jimin membalas dengan anggukan.
“Tak heran sih, memang bagus. Aku sempat berfikir malah, bila drama ini seperti cerita kita”, Yonhee menunduk dan tersenyum.
Jimin keheranan. Seingat Jimin pengalaman seperti itu tidaklah menyenangkan. Setiap kali melihat Yonhee, ia selalu merasa tidak pantas menerima senyuman dan kebaikan darinya. Rasa itu sungguh menyiksanya, ia begitu kejam pada Yonhee.
Jimin menundukkan kepalanya, “Yonhee maafkan aku ya”. Kemudian beralih mengambil tangan Yonhee yang berada di kedua pahanya. Yonhee menatap Jimin khawatir, ia tidak bermaksud membuatnya kembali terungkit. Yonhee hanya bersyukur, malah bangga. Karena berhasil mempertahankan kisah mereka.
“No Jim, aku bangga akan kisah itu. Aku senang kau sudah berubah”, ucapnya tersenyum. Jimin benar-benar sadar bila Yonhee sangat tulus padanya. Entah, setan apa yang membuatnya tega memukul Yonhee.
Andai kala itu Jimin dapat membunuh dirinya yang itu, pasti ia sudah melakukannya. “Aku sangat tidak pantas untukmu yang selalu baik padaku” Yonhee tersenyum, membalas perkataan Jimin dengan tenang.
“Justru kau sudah pantas sekarang, liat. Kau rela berubah, kau menunjukkan rasa bersalahmu. Lagi juga, pukulanmu tak semenyakitkan itu”
Metode yang benar adalah saling memaafkan, mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Berdamai.
“Aku benar-benar beruntung” Jimin tersenyum menatap Yonhee. Lalu kembali bersuara.
“Maukah kau pergi keluar denganku?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Promettere [Park Jimin]
Fanfiction"Jimin, Choi Jimin" Ucapku sembari menepuk cepat meja mengisyaratkan segera. "Sudah dikamar VIP, lantai 5 nomor 1564" Aku mengangguk dan berlari menuju kamar itu. Setibanya kita didalam, dapat kita lihat sebuah gorden penutup kantor dan ruang istira...