“It’s sad when you realize you aren’t as important to someone as you thought you were”
-unknown
-> Kantor Choi LabelDengan cepat Jisung turun dan berlari menuju lobby utama yang menyediakan ruang informasi itu, “Jimin ada didalam?” Aku memukul lengannya, “Maksudnya Pak Jimin” Ucapku membenarkan, dibalas oleh anggukan sang pelayan.
“Dimana dia?” Jisung.
“Sedari sore Pak Jimin tidak keluar dari ruangannya. Jadi, kami-"
“Baiklah, aku akan kesana” Putus Jisung cepat, sang pelayan bahkan seluruh kantor ini pasti tau siapa kandidat yang ia layani tadi. Jisung mencoba membuka ruangan Jimin, namun tak ada jawaban dari dalam. Pintunya juga terkunci.
“Kak aku akan memanggil-“ Aku berhasil membuka pintunya dengan putaran di kenop pintu sedikit keras, Jisung yang melihat itu sedikit kaget tapi langsung mengambil posisi masuk ke dalam yang diikuti oleh diriku.
Setibanya kita didalam, dapat kita lihat sebuah gorden penutup kantor dan ruang istirahat Jimin terbuka. Menampikkan 2 insan yang diyakini berbeda gender itu tertidur ditutup selimut. Aku melihat itu terkejut dan otomatis membeku. Tentu Jisung memperhatikanku “Aku saja kak yang memeriksa” Jisung sudah berjalan namun aku mencegahnya.
“Tidak, biar aku” Aku mengarah semakin dekat dan mencoba mengguncang Jimin pelan, yang punya bahu pun membalikkan badannya dan menatapku sedikit terkejut.
Dadanya polos tak memakai baju, apa melakukan sesuatu?
“KAU! SURUH SIAPA KEMARI?” Bentak Jimin, “Aku-Ibu mencarimu-“ Yonhee mundur beberapa langkah.
“BUKANKAH AKU PERNAH BILANG JANGAN PERNAH MENGINJAKKAN KAKI KOTORMU DIKANTOR INI?” Jimin menarik rambut panjangku, membuat kepalaku terjengkal kebelakang menahan rasa sakit. Tanganku ikut menahan tangan Jimin yang semakin kuat menarik.
“M-maaf Jim”
“KAU CUMA BISA BILANG MAAF? MULUTMU TERCIPTA HANYA UNTUK ITU?” Jisung menghampiriku dan mencoba melerai kami, “KAK! LEPASKAN YONHEE!”
Jimin menampikkan senyuman meremehkan pada bibirnya “OH, ADA PEJANTAN BARU? KAU TAK BERHAK UNTUK IKUT CAMPUR ANAK KECIL!” Aku masih setia menahan tangan Jimin, sialnya airmataku ikut keluar karena tarikannya sangat kuat.
Tanpa disadari sang perempuan yang bersembunyi dibelakang selimut ini terbangun, “Sayang” panggilnya pelan yang tentu tertuju pada Jimin. Ia meraih bahu Jimin pelan agar melepaskanku.
“PERGI KALIAN!” Tarikan terlepas dengan kasar, membuat tubuhku sedikit terhuyung namun cepat Jisung langsung mengambilku, “DAN KAU YONHEE, AKU BISA LEBIH KASAR KALAU KAU KEMBALI MELEWATI BATAS!” puncak Jimin.
Jisung membawaku kembali masuk kedalam mobil dan melanjutkan celotehannya untuk kekesalannya pada Jimin, “Aku heran, bagaimana bisa aku menjadi adiknya? Sifatnya sangat tak terkendali! Dulu ia tak begitu kak, apa yang membuatnya sangat benci terhadapmu?” Sembari sedikit mendengar Jisung, aku terus mengusap kepalaku yang rasanya rambutku ikut rontok.
“Kau yakin kak tak apa?” Aku menatap Jisung dan tertawa, “Tak perlu khawatir seperti itu Ji, wajahmu sangat lucu” Jisung menggaruk lehernya yang tak gatal sambil tersenyum kecut.
Kembalinya kita dirumah Ibu-Ayah juga disambut oleh Jimin, entah seberapa kencang ia mengendarai mobilnya. Jisung sudah kuperintah untuk merahasiakan segalanya kepada Ibu dan Ayah, kamipun berjalan dan melaksanakan proses makan-makan.
...
Aku dikamar, mempersiapkan baju Jimin untuk kerja besok. Tentu disini banyak baju kami, kami kan sudah 1 tahun bersama. Dan disela itu kita juga pernah menginap disini.
Hubungan Jimin dan diriku yang sebenarnya tak diketahui oleh orangtua Jimin.
Kudengar gemercik air beradu berantakan didalam kamar mandi, itu pasti Jimin. Semalam aku tidur di sofa kamar, seperti biasa Jimin takkan mengizinkanku tidur seranjang.
Jimin keluar dengan rambut basahnya beserta handuk dari pusar hingga lutut. Aku menyerahkan handuk untuk kepalanya, “Ini” beriku padanya, namun Jimin kembali membuatku tersenyum pasrah karena sudah menampis tanganku kasar.
“Belum cukup ya selama setahun? Aku sudah bilang bahwa aku tak sudi mengambil barang darimu” Aku mengambil handuk yang terlempar tadi, merapikan kembali jas yang kusiapkan karena aku tahu Jimin tak akan memakainya.
Dengan telaten aku membersihkannya dan menuju ke almari besar milik Jimin, belum sampai aku meletakkannya dengan baik Jimin sudah menarik kembali rambutku. Membuat kepalaku tertarik dan tersungkur dilantai.
“Kau sadar kan, bila kita menikah bukan karena cinta?” Jimin menarik bajuku, sebenarnya ini membantuku untuk berdiri, "Kau sadar kan kalau ini terpaksa?" Jimin kembali mendorong kasar diriku hingga tertabrak pada tembok, meletakkan tangannya seolah mengurungku tepat dikepalaku sembari lurus menatapku.
Aroma sikat gigi yang baru dipakai bisa tercium dihidungku, tetesan rambut basahnya saja terasa dibajuku. Aku bersikap biasa, ia sering seperti ini. Namun pernyataannya setelah ini membuat hatiku mencelos “Aku akan menikah dengan Haneul” Aku menatapnya dengan sedikit mendongak.
Aku benar-benar tak habis pikir dengan Jimin, sebesar apa rasa bencinya untukku?
Jimin tersenyum licik sembari mendengus “Kenapa?” Aku bingung, kaku. Bukan perjodohan seperti ini yang kumau Tuhan. Tentu aku peka dengan siapa Haneul itu, perempuan dibalik gorden.
“Sebenarnya, aku juga tak perlu mengucapkan ini padamu. Namun, asal kau tahu saja ia akan tinggal dirumah. Dan jangan pernah kau berani mengatakan ini pada orangtua yang sangat menyayangimu itu”
Tidak bisa! Wanita mana yang mau dimadu, Berengsek!
Dengan sedikit berani aku berusaha nego, “Aku tak bisa” Aku menepis tangan Jimin berusaha pergi, namun lagi-lagi Jimin “JEONG YONHEE!” Membentak dan menjambak.
“KAU TAU KAN AKU TAK SUKA DIBANTAH!” Bagus Jimin, berteriaklah hingga Ibu dan Ayah mendengarmu, “Tidak tau diri memang sudah mendarah daging padamu” Haha, kata itu lagi yang ia lontarkan. Lirih namun menyakitkan. Aku berusaha pergi, menjauh daripada aku harus sakit lebih lagi.
“KAU ITU PETAKA!” Aku memutar malas bola mataku, "Terserah, terserah kau mau bilang aku apa" Amarahnya meredup, berubah menjadi sendu dimatanya, "Taera pergi juga karena dirimu" Taera lagi, Taera adalah mantan tunangan Jimin. Hanya itu yang aku tahu.
"Lalu karena itu kau terus membuatku sakit? Ditambah dengan menikah dengan Haneul? Kau masih punya otak sehat kan Jim?" Jimin kembali menatap tajam mataku, "Kau yang gila! Kau yang mau kusakiti! Dengan menerima balas budi ini, jangan harap kau menjadi ratu!"
“SUDAHLAH! Berbicara dengan orang tak beradab sepertimu tak ada gunanya” Jimin mengambil kaos sembarang dan keluar dari kamar.
Dasar orang aneh! Aku tak beradab? Haha, lantas kau apa?
Tanpa kusadar, airmata kembali keluar dari sangkarnya, hey! Sudah berapa kali kubilang, jangan suka keluar ketika aku tak suruh. Dia memang pengkhianat.
Jimin itu gila!
Kok makin absurd si anjir😂 maap ya
Jangan lupa VoMent🌈gratis zheyenk
Terimakasih💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Promettere [Park Jimin]
Fanfiction"Jimin, Choi Jimin" Ucapku sembari menepuk cepat meja mengisyaratkan segera. "Sudah dikamar VIP, lantai 5 nomor 1564" Aku mengangguk dan berlari menuju kamar itu. Setibanya kita didalam, dapat kita lihat sebuah gorden penutup kantor dan ruang istira...