Menatap undangan berwarna keemasan ditanganku membuat pandanganku mengabur tertutup air mata yang siap meluncur. Aku mengalihkan pandangan keatas. Berharap tak akan ada luncuran air bening yang melewati pipiku. Aku menghela nafas panjang. Menghembuskannya perlahan. Kutarik kedua sudut bibirku keatas, menawarkan senyum ceria. Maura bukan perempuan lemah.
"Ini mbak ambil. Ini pilihanku loh khusus beliin buat mbak Maura. Sekalian kemarin pas aku fitting baju sama mas Faris." Aku hanya melirik goodie bag yang bertuliskan salah satu butik terkenal itu. Hingga ibu mertuaku itu merebut dari tangan Nala lalu melemparkannya pada pangkuanku.
"Jangan lupa itu dipake besok pas nikahan Nala sama Faris." Aku meneruskan memakan rujak kedondong dihadapanku. Meladeni mereka tidak ada gunanya.
Dapat kulirik dari ekor mataku. Si perempuan berkursi roda itu membisikkan sesuatu hingga akhirnya ibu mertuaku itu pergi meninggalkan kami berdua.
"Mbak." Aku hanya berdehem.
"Kenapa sih mbak kayak gak suka sama aku gitu. Aku punya salah apa sama mbak." Aku hanya melirik sinis perempuan itu.
"Gak salah tuh pelakor tanya sama istri sah punya salah apa?"
"Apa susahnya nerima aku jadi madu. Mbak itu mandul. Aku bakalan ngasih keturunan buat mas Faris. Udah untung mas Faris gak nyerein perempuan kayak kamu. Harusnya dari awal mas Faris nikahnya sama aku. Bukan sama perempuan gak berpendidikan dan mandul kayak kamu mbak. Mas Faris cocoknya sama perempuan berpendidikan kayak aku"
"Berpendidikan kok ngrebut suami orang." Kataku ketus. Membuat mimik wajahnya yang tadi semangat menjadi meredup. Cocok sekali perempuan ini menjadi pemain sinetron.
"Aku gak niat merebut mbak. Mas Faris yang mau nikah sama aku. Kami udah deket dari masih kecil. Lagian Mbak tau sendiri kalau aku...."
"Aku apa? Lumpuh? Mau menjual kesedihan huh. Sayangnya itu gak akan mempan untuk seorang Maura." Ucapku menggebu. Membuat keadaan menjadi hening. Hingga...
Brakkkk....
Kursi roda itu terguling. Dan perempuan yang berada di atasnya itu menangis histeris. Membuat ibu mertua dan suamiku tergopoh-gopoh datang membantunya bangun.
"Kamu kok bisa jatuh sayang." Kulirik mertuaku yang mengelus surai indah sang anak perempuan.
"Aku cuma bicara sama mbak Maura. Tau-tau aku di dorong sampai jatuh. Bukan cuma itu malahan mbak Maura juga ngata-ngatain aku pelakor. Perempuan lumpuh cuma bisa nyusahin." Perempuan itu tersedu dipelukan ibu mertuaku. Aku hanya mendengus geli. Dasar drama queen.
"Dasar perempuan mandul. Kamu irikan karena Faris mau nikah sama Nala. Pake nyelakain orang lemah segala. Udahlah Ris, cerein aja perempuan kayak dia."
"Iya mas harusnya kamu nyerein perempuan kayak aku." Kataku mengejek membuat ibu mertuaku itu mendengus.
"Kamu bener-bener ya Ra."
"Apa Ma mau apa." Melihat perempuan tua itu mengangkat tangannya membuatku menyodorkan pipiku.
"Nih tampar nih kanan apa kiri."
"Maura!" Mas Faris meninggikan suaranya membuatku dan ibu mertuaku terdiam.
Hingga kemudian laki-laki lembek yang menjadi suamiku itu mencekal tanganku kuat, membuatku mau tak mau mengikuti langkah kakinya yang lebar itu. Menaiki lantai dua lalu masuk ke kamar dan mendorongku ke ranjang. Untung saja tanganku dengan sigap menompang bobot tubuhku hingga aku tidak ambruk dan membuat perutku tergencet. Awas saja kalau terjadi apa-apa dengan anakku. Kupastikan kau akan kehilangan kepalamu mas!
"Kamu berubah Ra sekarang. Rasanya aku udah gak ngenali kamu lagi."
"Aku begini karna kamu." Sergahku cepat.
"Semalam kamu gak pulang. Aku pikir kamu lagi nenangin diri jadi mas gak ganggu kamu. Mas udah bersukur pas tau tadi pagi kamu udah pulang. Tapi kenapa sekarang kamu malah kayak gini sama Nala. Kamu kasar Ra." Aku mendengus.
"Aku gak dorong dia. Gak percaya sama aku lagi sekarang?" Mas Faris mengacak rambutnya pelan.
"Oke oke. Bisa tolong ngertiin posisiku sekarang gak sih Ra."
"Minta dingertiiin tapi kamu sama sekali gak ngertiin aku. Egois." Desisku.
"Mas sayang kamu. Cinta banget sama kamu Ra. Dulu sampai sekarang. Kamu tahu itukan Ra" Mas Faris menggenggam tanganku kemudian mengusapnya.
"Bulshit nyatanya kamu nikah lagi."
"Mas cuma mau ngerawat Nala Ra. Ngerawat dia sampai sembuh. Mas gak mau dia sedih."
"Gak mau dia sedih? Sadar gak sikapmu selama ini membuat istrimu merasakan itu. Kamu bela-belain menjaga perasaan orang lain tapi kamu hancurin perasaan istrimu sendiri. Masih gak sadar juga kamu?"
"Trus mas harus apa Ra. Mas harus apa." Laki-lakiku itu mengacak rambutnya frustasi.
"Kalau aku minta kamu memilih antara aku atau perempuan itu. Kamu pasti gak bisa jawabkan. Harusnya kalau mau dia ya lepasin aku."
"Aku gak akan pernah lepasin kamu Ra."
"Egois." Desisku.
"Apa susahnya kamu tinggal nerima Nala jadi madu kamu Ra. Kamu gak kasihan dia. Dia sebatangkara bahkan dia gak bisa jalan. Mas mau ngerawat dia."
"Ceraikan aku." Kataku ketus. Enak saja dia mau beristri dua. Memangnya dia siapa?
"Gini Ra. Setelah mas nikah sama Nala. Mas bakalan punya anak. Kamu boleh nganggep anak kami jadi anak kamu sendiri. Gimana?" Aku menggelengkan kepala.
"Gak akan pokoknya aku mau pisah."
"Jangan keras kepala Ra. Mau jadi apa kamu kalau kita pisah. Ngehidupin diri kamu sendiri aja karena gajiku."
"Jangan sombong kamu. Rezeki udah ada yang ngatur. Didalam rezeki suami juga ada rezeki istri di dalamnya."
"Kamu akan menyesal Ra." Aku menaikkan satu sudut bibirku keatas.
"Oh ya. Kita liat siapa yang akan menyesal. Aku atau kamu mas."
Segera kuraih tas. Lalu berjalan keluar dari rumah sedikit mengacak jilbab dan meneteskan tetes mata pada mataku. Menarik perhatian tetangga mas Faris yang sedang berbelanja di depan rumah. Ektingku sebagai istri tersakiti yang minggat dari rumah suaminya berjalan sangat mulus.
Setelah masuk pada mobil berwarna hitam yang dikemudikan mas Faras. Tawaku menyembur. Sebenarnya tujuanku pagi-pagi datang kesini adalah untuk mengambil tas-tas dan baju brandedku. Untungnya sudah ku masukan pada mobil ini tadi sebelum mas Faris pulang. Selain itu aku juga menguras habis uang dalam brankas dan mengambil perhiasan-perhiasanku yang kubawa dalam tas dipangkuanku ini. Takkan kubiarkan perempuan jahat itu menikmati sesuatu yang seharusnya jadi milik anakku.
Aku meremas surat tagihan yang dikirim oleh lesing. Cicilan mobil sudah jatuh tempo. Sengaja tak kuberitahukan, biarkan saja mobil yang di bangga-banggakan oleh suamiku itu ditarik. Belum lagi cicilan rumah yang bulan kemarin memang belum terbayarkan. Nikmatilah cicilan-cicilanmu yang menggunung itu wahai suamiku.
Cie yang awalnya emosi langsung pada mesem pas baca ending. Gimana rasanya baca cerita kayak dibawa naik rollercoster?
Salam sayang,
Author hobi rebahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Lumpuh Perebut Suamiku
General FictionDia menjadikan kekurangan dalam dirinya untuk menarik simpati bersikap seolah dia yang paling merana nyatanya dia begitu tega menawarkan diri sebagai yang kedua Rank #1 Flashback 29 agustus 2021