Dean tak bisa berhenti tersenyum, pengacara muda dan tampan itu asik tersenyum sendiri sampai membuat Isa sang sahabat menatapnya ngeri.
“lo kenapa, sih? Kesurupan? Serem sendiri gue lihatnya,” tegur Isa, gadis itu mulai jengah melihat Dean yang tersenyum sambil menatap layar komputernya yang mati.
Yang ditanya segera menoleh kepada Isa, “gue ketemu sama Amasha lagi, akhirnya setelah sekian purnama.”
Isa menghela nafas, “bego! Kirain ada apaan.”
Dean mengerutkan dahi melihat respon Isa, “lo nggak penasaran gimana ceritanya gue bisa ketemu Amasha lagi?”
Isa menggeleng jujur, “kan lo sering nganter gue ke rumah sakit, Amasha itu dokter, kan? Ya wajar lah kalau kalian ketemu.”
Dean mengangguk membenarkan, “tapi gue merasa kalau pertemuan kali ini adalah takdir.”
Isa berdecak, “ya elah ketemu mantan jaman SMA aja dibilang takdir, nggak jelas banget lo!”
“dia itu first love gue, loh! Pacar pertama dan terakhir gue juga!”
“dia juga cewek yang dulu mutusin lo secara semena-mena dengan alasan udah nggak ada rasa, lo lupa?”
Dean berdecak, “dia pasti punya alasan melakukan itu.”
“alasannya ya cuma satu, dia nggak suka lo! Ngapain sih masih diinget-inget? Ingat umur, lo udah nggak muda lagi, udah waktunya cari pacar yang serius terus diajak nikah! Nggak malu? Udah jadi pengacara yang hidupnya mapan tapi nggak nikah-nikah? Ntar muncul rumor kalau lo itu belok!”
“ngaca! Lo sendiri juga nggak punya pacar dan nggak nikah-nikah!”
“gue punya alasan!” tegas Isa.
Dean hanya menghela nafas. Isa benar, gadis itu punya alasan kenapa sampai sekarang belum menikah. Sementara Dean sendiri tidak punya alasan yang jelas, dia hanya tidak ingin menjalin hubungan dengan gadis lain karena di hatinya masih ada Amasha.
Amasha, luka lama yang tak pernah bisa Dean lupakan. Sekalipun waktu terus berlalu, tapi hati Dean tetap menjadi milik Amasha.
Sekarang Dean sudah cukup senang karena menemukan keberadaan Amasha lagi. Dean berharap dia punya keberanian untuk mendekati Amasha lagi. Dean sangat ingin membuat Amasha kembali mencintainya seperti bertahun-tahun lalu saat mereka masih remaja.
Dengan semangat, Dean tiba-tiba bangkit dari kursi kerjanya.
“gue mau ke rumah sakit!”
“hah? Ngapain?” tanya Isa, gadis itu heran melihat Dean yang tiba-tiba bersemangat sekali.
“mau ketemu Amasha, minta nomor handphonenya,” sahut Dean.
Isa mendecih, “nggak usah ngada-ngada lo, ya! Beresin kerjaan lo, besok ada jadwal sidang, kan?”
Dean menoleh kepada Isa, “lo aja yang beresin, lo kan asisten gue!”
Setelah mengatakannya, Dean segera berlari meninggalkan Isa di ruang kerjanya.
“ARDEAN BRENGSEK! SEJAK KAPAN GUE JADI ASISTEN LO?”
Jeritan Isa hanya dibalas dengan tawa oleh Dean. Pemuda itu sama sekali tidak menghawatirkan pekerjaannya yang terbengkalai, karena meski sambil mengomel pun Isa pasti akan membantu Dean menyelesaikan pekerjaannya bahkan tanpa digaji.
Dean bergegas menuju Adiwinandra hope hospital, daerah kekuasaan dokter cantik Amasha Adiwinandra. Sambil berharap bisa bertemu dan bercengkerama dengan Amasha lagi nanti, Dean mampir membeli dua gelas ice Americano di starbucks dan membawanya ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amasha (END)
General FictionRambutnya selalu diikat berantakan, bibirnya pucat dan kering karena tak pernah memakai lipbalm, bulu matanya tak selentik gadis kebanyakan. Tapi wajahnya tetap cantik, senyumnya selalu menarik. Dia bukan orang miskin, gadis itu bisa membeli pabrik...