Tujuh Belas

768 85 11
                                    

Seminggu berlalu sejak Keenan membawa Amasha menemui Rio di kantor polisi. Sejak saat itu juga Amasha masih merasa bingung dengan keadaan yang sedang dia alami. Jujur, Amasha sangat terkejut dan sulit mempercayai fakta bahwa sebenarnya Ryu adalah seorang iblis. Namun Amasha jauh lebih terkejut dan kesal pada dirinya sendiri karena menyadari bahwa ternyata dia tidak mengenal Ryu dengan baik. Padahal Ryu adalah seseorang yang sangat dekat dengannya sejak mereka masih kecil, bagaimana bisa Amasha tidak menyadari bahwa sebenarnya sosok yang bersamanya selama ini adalah orang dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang? Amasha jadi bertanya-tanya, apakah selama ini dia memang terlalu acuh kepada Ryu? Apakah seharusnya sejak dahulu Amasha memberikan perhatian lebih? Jika Amasha tidak seacuh itu dan tidak selalu menganggap Ryu bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik, mungkinkah Ryu tidak berubah menjadi monster seperti sekarang? Berubah? Ah, Amasha bahkan tidak tahu mana jati diri yang Ryu sebenarnya. Siapakah Ryu yang asli? Ryu yang selalu menjadi kebanggaan Albara dan dinobatkan sebagai pewaris utama, atau justru Ryu si iblis jahat yang suka melukai wanita-wanita lemah? 

Semua pikiran-pikiran itu membuat kepala Amasha berdenyut.

Amasha merebahkan kepalanya yang berat ke atas meja kerja, gadis itu menghela nafas sambil memejamkan mata, berusaha mengusir rasa sakit di kepalanya yang selalu datang setiap kali dia memikirkan masalah ini.

Baru lima menit dia merasa kepalanya lebih baik, suara dering ponsel di atas mejanya membuat gadis itu terlonjak kaget dan kepalanya berdenyut lagi. membuang nafas kasar, Amasha segera menerima panggilan masuk di ponsel pribadinya.

“Halo,” sapa Amasha.

“Masha, kamu udah selesai kerja?” suara Adelle terdengar dari sebrang telfon.

“Belum,” sahut Amasha, “Tapi hari ini aku mau pulang cepat,” lanjutnya.

“Kenapa?” tanya Adelle.

Amasha membuang nafas sekali lagi, “Enggak pa-pa, cuma capek.”

“Mau makan siang bareng aku?” tanya Adelle lagi.

“Kamu enggak kerja?” Amasha balik bertanya.

“Enggak,” sahut Adelle, “Kalau mau, aku masak sekarang. Kita makan di tempatku aja.”

Amasha menimbang sejenak, masakan Adelle memang tidak enak, tapi Amasha sedang butuh teman agar dia tidak terus-terusan memikirkan masalah ini. jadi, ide makan siang bersama di apartemen Adelle sepertinya bukan sesuatu yang buruk.

“Oke, kamu masak sana! Setengah jam lagi aku sampai di tempatmu,” putus Amasha.

“Oke Masha, see you!” kata Adelle sebelum mematikan sambungan telepon mereka.

Amasha memasukkan kedua ponselnya ke saku celana, membuka jas dokter yang dia pakai kemudian menggantungnya di sudut ruangan.

“Hari ini aku mau bolos kerja, enggak bakalan dipecat juga, kan? Lagian semua ini kan punya ayahku,” Amasha berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk membolos.

Menatap sekelilingnya sekali lagi, gadis itu keluar dari ruangan dan terus melangkah keluar dari rumah sakit menuju halte bus.

Setelah menempuh setengah jam perjalanan menggunakan bus, Amasha akhirnya tiba di depan pintu apartemen sang sahabat. Baru saja gadis itu mengangkat tangan untuk menekan bel, pintu apartemen sang sahabat sudah terbuka, menampakkan sosok si pemilik apartemen yang tengah merapihkan kerah blouse yang dia kenakan.

Amasha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang