Empat

954 105 11
                                    

Minggu pagi yang cerah, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela-jendela kaca besar yang tirainya dibiarkan terbuka oleh si pemilik. Bunyi detik jam dinding menjadi satu-satunya suara yang terdengar di kamar itu. Dan dokter cantik Amasha selaku pemilik kamar besar itu sedang bergelung di bawah selimut tebalnya yang nyaman sampai dering ponsel membangunkannya.

Perlahan Amasha menggeliat keluar dari selimut, sambil mengucek mata dan menguap lebar dia berusaha meraih ponsel pribadinya di atas nakas. Nama Dean terpampang sebagai pemanggil, membuat senyum gadis itu otomatis mengembang.

“dengan dokter Amasha Adiwinandra,” sapa Amasha dengan gaya formal.

“dan saya dengan Ardean si manusia biasa. Selamat pagi, dokter cantik,” balas Dean, membuat Amasha tertawa.

“aku mengganggu nggak? Ini hari minggu, kamu libur kan?” tanya Dean setelah Amasha selesai tertawa.

“nggak mengganggu, kok. Aku baru bangun, Dean. Akhirnya setelah sekian lama aku bisa menikmati libur hari minggu. Selama jadi dokter residen biasanya selalu ada operasi darurat pas aku nggak punya jadwal jaga hari minggu, jadi aku nggak pernah bisa liburan.”

“wow. Jadi hari ini liburan spesial, dong? Ada rencana apa hari ini?” tanya Dean.

“aku nggak punya rencana apapun. Nggak kepikiran, Dean,” sahut Amasha.

“sayang banget dong liburannya kalau nggak dipakai dengan baik. Gimana kalau kencan sama aku aja?”

Amasha tertawa lagi, “kencan?”

“iya, Masha. Makan di kafe berduaan kayak dulu waktu kita masih muda. Gimana?”

“kayaknya seru tuh.”

“mau? Aku jemput ya?”

“nggak usah, Dean. Kita ketemu di kafe aja. Kafe yang dulu, kan?”

“iya. Beneran nggak perlu dijemput?”

“nggak usah, ribet ntar kalau kamu nganter aku pulang terus ketemu ayahku.”

Dean terkekeh, “apa ayahmu masih kayak dulu?”

“sekarang malah lebih parah deh kayaknya. Semenjak aku masuk usia ideal menikah, ayahku jadi makin nyebelin.”

“serem dong?”

“iya. makanya kita ketemu di kafe aja, ya? Dua jam lagi di kafe yang dulu, deal?”

“deal,” sahut Dean.

“yaudah, Dean. Aku mau bangun dulu, see you!”

“see you, Masha.”

Amasha mematikan sambungan telfonnya dengan sang mantan, kemudian bergegas turun dari tempat tidur. Setelah merapihkan tempat tidur dan melakukan beberapa gerakan peregangan, Amasha segera pergi mandi.

Beberapa saat berselang, gadis itu keluar dari toilet dengan memakai jubah mandi putih dan handuk kecil putih yang terlilit di kepalanya untuk mengeringkan rambut.

Masih memakai jubah mandi, Amasha keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Di dapur, dia berpapasan dengan beberapa asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Saat ditanya adakah yang dibutuhkan, Amasha hanya tersenyum dan menggeleng karena tak ingin merepotkan semua orang. Dia membuat kopi sendiri dengan mesin kopi kemudian membawa secangkir kopinya ke kamar.

Gadis itu pergi ke balkon kamar, duduk di ayunan rotan berbentuk oval, menikmati kopi sambil memandang halaman rumahnya yang luas.

Gemericik air mancur di halaman rumah besar itu terdengar menyejukkan, membuat siapa saja betah berlama-lama memandangnya, termasuk Amasha. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bersantai di balkonnya sendiri begini, Amasha sedikit merindukan suasana ini.

Amasha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang