Jam dinding di kamar Amasha menunjukkan pukul delapan pagi. Hari minggu yang tenang setelah beberapa hari berat yang sempat Amasha lalui. Amasha yang baru selesai mencuci wajahnya itu segera memeriksa ponsel di atas nakas. Tepat saat tangannya menyentuh ponsel, sebuah pesan mendarat di sana. Nama Keenan Dinata terpambang sebagai nama pengirim, membuat senyuman Amasha mengembang.
Keenan Dinata
Aku di teras rumahmu, bisakah kamu membukakan pintu untukku? Aku terlalu malas menekan bel.
Amasha tertawa, setelah meletakkan ponsel kembali ke atas nakas, gadis itu berlalu keluar dari kamarnya dengan langkah riang. Dia menuruni tangga sambil sesekali bersenandung kecil, membuat ayah dan bundanya yang memperhatikan dari ruang makan saling pandang keheranan. Setelah menuruni tangga, Amasha menuju pintu utama dan membuka pintu rumahnya sambil tersenyum.
“Selamat pagi, sayang!” Keenan tersenyum lebar di depan pintu rumah Amasha.
“Aku bukan sayangmu,” sahut Amasha sambil membuka pintu rumahnya lebih lebar.
“Tapi beberapa minggu yang lalu di apartemen Adelle kita berciuman mesr-“
Amasha membelalakkan matanya, tangan gadis itu terulur membungkam mulut Keenan, “Diem! Ayahku ada di rumah!”
Keenan mengangkat sebelah alisnya, tangannya bergerak menurunkan tangan Amasha dari bibirnya, “Kenapa? Kamu kan sudah legal. Berciuman tidak melanggar hukum, Masha.”
“Keenan! Bisa diem enggak?” ketus Amasha sambil menarik tangannya dari genggaman Keenan.
Keenan tertawa, menggoda Amasha terasa sangat menyenangkan.
“Kamu ngapain pagi-pagi kesini?” tanya Amasha.
“Tadinya aku mau mengajakmu ke CFD, tapi setelah melihatmu, aku jadi malas kemana-mana. Mau menghabiskan hari minggu ini bersama kamu aja,” sahut Keenan.
Amasha mendecih, “Udah sarapan belum?”
Keenan menggeleng, “Belum.”
“Mau sarapan bareng? Bunda sama ayahku lagi pada sarapan, tuh.”
Keenan mengangguk, menanggapi ajakan Amasha, “Boleh.”
Amasha menggeser tubuhnya, mempersilahkan Keenan untuk masuk. Setelah Keenan memasuki rumahnya, Amasha menutup pintu kemudian berjalan beriringan dengan Keenan menuju ruang makan.
Di meja makan, bunda dan ayah Amasha terlihat sedang sarapan sambil mengobrol asik.
“Ayah, bunda, ada Keenan nih,” ujar Amasha.
“Selamat pagi, Om Dewa, Auntie Irida,” Keenan menyapa.
Dewa dan Irida kompak menoleh. Dewa hanya mengangguk sopan sebelum kembali melanjutkan sarapan.
Irida tersenyum lembut, “Pagi juga Keenan, duduk sayang! Kita sarapan bareng.”
“Terima kasih, Auntie,” sahut Keenan.
Amasha mengajak Keenan duduk bersisian, berhadapan dengan bunda dan ayahnya.
Irida bangkit, wanita anggun itu menyiapkan dua lembar roti dengan selai coklat kemudian diletakkan ke piring Keenan.
“Terima kasih, Auntie,” ujar Keenan lagi.
Irida mengangguk, kemudian kembali duduk di kursinya. Sementara Keenan melirik Amasha yang sedang menyiapkan sarapannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amasha (END)
General FictionRambutnya selalu diikat berantakan, bibirnya pucat dan kering karena tak pernah memakai lipbalm, bulu matanya tak selentik gadis kebanyakan. Tapi wajahnya tetap cantik, senyumnya selalu menarik. Dia bukan orang miskin, gadis itu bisa membeli pabrik...