Dua tiga

780 92 23
                                    

Arloji di pergelangan tangannya baru menunjukkan pukul tiga sore, namun Amasha sudah menanggalkan jas dokternya dan melangkah meninggalkan ruangan. Di lobi, Amasha bertemu dengan Faza yang baru keluar dari IGD sambil melakukan peregangan ringan.

“Mau ke mana?” tanya Faza.

Amasha menghentikan langkahnya dan berdiri berhadapan dengan Faza yang terlihat lelah, “Pulang,” sahutnya.

Faza terkekeh, “Kamu sekarang jadi hobi bolos kerja, ya? Pulang kerja juga sesukamu sendiri. Dokter Amasha yang tekun sudah menghilang.”

Amasha ikut terkekeh, “Belakangan ini hidupku memang sibuk banget, jadi sering bolos.”

Faza mengibaskan tangannya, “Ya terserahmu aja, deh. Pada akhirnya kamu itu bukan dokter melainkan anak konglomerat. Jangankan cuma bolos kerja, kamu ke sini buat numpang tidur doang juga enggak bakalan dipecat, kok. Udah santai aja.”

“Kamu juga harus lebih santai, Za,” balas Amasha, “jangan lupa selalu menyempatkan makan dan tidur sebanyak mungkin.”

Faza mengangguk, “Kalem, Masha.”

“Udah, ah. Aku buru-buru, nih. See you, Za!” Amasha berpamitan.

Faza mengangguk lagi kemudian melambai kepada Amasha yang melangkah meninggalkannya.

“Dia jadi lebih manusiawi belakangan ini. Kupikir selama ini dia robot pekerja,” ujar Faza kepada dirinya sendiri.

Amasha kembali menghentikan langkahnya saat melihat Dean di pelataran rumah sakit.

“Dean!” panggil Amasha.

Dean yang tengah berjalan menuju parkiran menoleh kepada Amasha, seulas senyum terbit di bibir sang pengacara muda.

Amasha balas tersenyum, dia melangkah menghampiri Dean.

“Hai Dean. Ada perlu apa di rumah sakit?” tanya Amasha setelah berdiri berhadapan dengan Dean.

“Hai juga, Amasha. Tadi habis menemani mama untuk pemeriksaan rutin,” sahut Dean.

“Mama kamu di mana sekarang?” Amasha bertanya lagi.

“Udah pulang,” sahut Dean, “kami naik mobil masing-masing.”

Amasha mengangguk paham.

“Kamu sendiri mau ke mana, Masha? Ini masih jam kerja, ‘kan?” tanya Dean saat menyadari Amasha tidak memakai jas dokternya.

“Aku mau bolos, ada urusan,” sahut Amasha.

“Urusan apa? Penting kah?”

“Membeli kado pertunangan untuk sahabatku, Adelle,” jawab Amasha, “aku enggak bisa datang ke pesta pertunangan Adelle karena ada jadwal operasi. Jadi aku baru mau memberi kado buat dia.”

“Kamu enggak bawa mobil, ‘kan?”

“Enggak,” sahut Amasha, “lagi-lagi kamu tahu”

Dean tersenyum tipis, “Kamu bilang kamu enggak punya mobil. Ayo aku antar!”

“Kamu enggak sibuk?” Amasha bertanya.

Dean menggeleng, “Sama sekali enggak.”

Tanpa ragu, Amasha mengangguk menerima tawaran Dean. Mendapat persetujuan dari Amasha, Dean tersenyum kemudian mengajak Amasha melangkah menuju parkiran. Dengan mobilnya, Dean mengantar Amasha menuju pusat perbelanjaan.

Dean menemani Amasha mengelilingi departemen store, mereka berkeliling berulang kali sampai akhirnya Amasha memutuskan membeli tas untuk Adelle. Begitu memasuki salah satu toko luxury brand, mereka segera disambut oleh para pramuniaga.

Amasha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang