29 "Selamanya keluarga"

351 35 8
                                    

Setelah cerita yang cukup panjang dan menguras air mata, baik itu Lanang, Ibu, hingga Oma yang memilih mengalihkan pandangan dengan bola mata memerah dan sisa-sisa air mata di pipinya yang telah mengeriput. Rasanya sudah lama bagi Lanang untuk menceritakan hari itu lagi. Tentang hari yang sejujurnya tidak ingin dia ingat—meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa lelaki berusia 21 tahun itu begitu merindukan hari itu. Tentang Ayah yang selalu membuat lelucon, atau Ibu yang akan merajuk bila Ayah dan Lanang menggodanya, tentang rencana-rencana liburan mereka untuk hari ulang tahun Lanang yang pada akhirnya tidak dapat dilaksanakan. Tentang kecelakaan yang menyakitkan, tentang kehilangan yang awalnya tidak dia pahami.

Dia nggak mau ingat, terutama karena dia telah memiliki keluarga baru. Meskipun akhirnya dia mengalami kehilangan lagi—kehilangan sosok Paman yang telah dia anggap Ayahnya—seseorang yang akhirnya dia miliki lagi meskipun pada akhirnya orang itu harus pergi juga.

Cowok itu melirik Sam yang merunduk dengan wajah syok serta cemas dan sedikit rasa bersalah yang seperti mengalir di aliran darahnya. Cowok itu mengusap bening kristal yang menyusup keluar dari salah satu ujung mata kecilnya, kemudian dia berakhir tidak dapat menahan tangisnya lagi.

Sam mungkin merasa bersalah, tetapi anehnya Lanang merasa lega. Karena mereka tidak memiliki satu pun rahasia lagi di antara hubungan keduanya.

Perasaan cemas dan khawatir yang begitu membelenggu pria itu akhir-akhir ini seakan meluruh bagai aliran air shower yang membasahi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lanang merasa.., lebih segar.

Lebih merasa hidup.

"Maaf," itu adalah kalimat pertama dari Samudera semenjak cowok itu menangis hebat. Hidung memerah hingga ingusnya terlihat keluar masuk dan matanya sangat sembab. "Maaf karena lo harus inget hari itu lagi, Bang. Gue.., gue nggak maksud. Gue cuma.., cuma.., ngerasa, kalo semua orang...," cowok itu mendongak, kalimatnya seakan tak dapat ia lanjutkan karena dadanya begitu nyeri. Sepertinya asmanya kambuh di tengah tangis yang mulai reda.

Lanang yang menyadari prilaku aneh Sam pun segera mengambil inhaeler cowok itu lantas memberikannya pada Sam, menunggu napas Adiknya kembali normal, kemudian cowok berumur 16 tahun itu tersenyum kecil, lebih terlihat seperti orang yang putus asa. "Lo bener, gue emang nggak tahu apa pun selama ini. Gue cuma cowok cengeng yang pengecut, selalu lari dari masalah, dan nggak tahu cara menyelesaikannya. Mungkin, harusnya gue biarin aja lo posesif, Bang. Karena emang gue cuma anak kecil yang sebenarnya baru bisa berjalan, tapi udah nekat mau lari," ia terkekeh sesaat. "Bodoh, kan?"

Ibu yang sejak tadi mendengarkan dua anak laki-lakinya mulai berbaikan, pun tersenyum kecil, duduk di antara Lanang dan Sam sebelum menarik keduanya ke dalam pelukan hangat yang lebih hangat dari sinar matahari. Perempuan itu mengela napasnya dengan hidung yang terasa mampet sebelum berkata. "Maaf, ya. Harusnya Ibu nggak perlu nyimpen rahasia ini. Maaf, karena Ibu nggak bisa cerita apa pun, Sam," Ibu mencium kening anak bungsunya, lalu beralih pada si sulung. "Maaf juga karena Ibu nggak mikirin perasaan kamu, Nang. Pasti selama ini, kamu juga ngerasa cemas, kan? Takut ketahuan kalau kamu sama Sam bukan saudara satu Ayah Ibu. Bahwa kalian sejujurnya hanya sepasang sepupu."

Ibu mengeratkan pelukannya, dia begitu merasa lega hari ini. Seakan-akan bahwa mulai besok dia merasa lebih bebas saja karena tak menyimpan perasaan cemas itu. "Mau seperti apa hubungan kalian aslinya, kalian tetap dua anak laki-laki Ibu yang sangattt Ibu sayangi. Ya, kan, Mah?" Ibu melirik Oma yang sejak tadi hanya diam memperhatikan keluarga kecil itu saling menyelesaikan masalah mereka masing-masing.

Wanita paro baya itu mengangguk, matanya masih sembab tertapi aliran air matanya sudah berhenti sejak beberapa menit lalu. "Iya, kalian tetap kakak beradik," Oma ikut bergabung dalam pelukan keluarga kecil tersebut sambil berujar. "Ayo, besok berkunjung ke makam mereka. Pasti, Ayah dan Ibu kamu udah kangen banget sama kamu, Nang. Oh, iya, Ayah Indra juga pasti kangen banget sama dua jagoannya. Inget, ya, jangan berantem lagi!"

BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang