11 "Liburan yang ditunggu (bagian 2)"

194 42 12
                                    

[]


Dari kejauhan, Lanang dapat melihat bagaimana Adiknya begitu senang—mengobrol dengan Jihan seakan-akan hanya ada dua orang itu di tengah perkampungan yang ramai oleh pengunjung dari luar kota mau pun luar negeri. Matahari pukul 11 siang begitu terik, membuat tubuh Lanang yang sejak pukul 1 pagi begitu kedinginan kini mulai terasa lebih hangat. Mungkin karena berada di luar ruangan, atau sekarang dirinya sudah mulai beradaptasi pada cuaca di kota Malang yang jauh berbeda dengan cuaca di Jakarta.

Cowok itu meminum sodanya lalu melirik Brian serta Yugi yang begitu menikmati liburan mereka padahal jelas-jelas mereka meninggalkan dua kelas—sudah mengulang matkul, sekarang bolos lagi.

"Lo apa kabar, Nang?"

Lanang menoleh, menemukan Agrina yang tengah mengunyah pentol goreng. Gadis itu terlihat jauh berbeda sejak 3 setengah tahun lalu, ketika mereka baru saja lulus SMA lalu gadis itu diterima di Universitas yang ada di Malang. Meninggalkan Jakarta bersama orangtuanya lalu menetap di sini.

"Baik. Lo udah skripsi?"

Gadis itu tersenyum kecut, dia melirik sosok cowok tinggi dengan rambut hitamnya yang berubah menjadi kecokelatan itu dengan sebal. "Lo seharusnya tahu, Nang. Mahasiswa akhir itu nggak suka ditanyain skripsi!"

Lanang terkekeh pelan. "Iya, deh. Sori, sori," balasnya. "Kayaknya.., lo bahagia banget di Malang, ya."

Tidak ada jawaban dari gadis itu. Agrina melirik ke arah Adik Lanang yang tidak pernah dia temui secara langsung ketika masih di Jakarta, lalu melirik teman masa sekolahnya—atau bisa dibilang mantan gebetannya?

"Gue denger, lo makin protektif sama Sam, kan?"

Cowok itu diam sejenak. Matanya menelisik ke bola mata Rina yang begitu lembut dan tenang. Dia sudah lama tidak pernah berhubungan dengan gadis ini, bahkan semenjak cintanya ditolak lalu gadis itu dengan mudahnya pergi ke luar kota. Pergi kuliah sekaligus menetap di sini. Meninggalkan Lanang yang pada saat itu berada di masa-masa sulitnya.

"Dia adik gue. Jelas gue protektif sama dia, Rin," Lanang memutus pandangannya dari Rina lalu melihat Yugi dan Brian yang sudah berpindah tempat foto. Sekarang dua cowok itu sedang membeli pentol goreng dan mengobrol dengan pedagang pentol tersebut.

"Iya, gue tahu Nang. Tapi.., bukannya lo udah kelewatan? Gue denger—"

"Bisa nggak, sih. Lo nggak perlu ikut campur soal gue lagi, Rin? Gue muak pas lo bilang gue denger, gue denger," ucap Lanang begitu keras, terdengar sangat marah pada sosok gadis di sampingnya. Cowok itu menunduk, menatap sepasang tali sepatunya yang terlihat mengendur sebelum cowok itu melanjutkan ucapannya. "Kalau lo dengar, seharusnya lo nggak nolak gue," dia menatap gadis itu lagi, kali ini lebih menghunus. "Lo tahu bahwa Ayah dan Ibu gue segalanya, begitupula Sam. Apa pun yang orang lain katakan, gue bakal jaga Adik gue seperti yang Ayah gue suruh. Lo nggak berhak ikut campur."

Lalu cowok bermata bulat yang mulai berkaca-kaca itu berjalan pergi. Tidak ke arah Yugi dan Brian yang melihat kedua orang itu dari kejauhan dengan pandangan bingung. Tetapi ke arah lain, meskipun Lanang tidak tahu kemana tungkai kakinya melangkah.

Dia hanya sedang ingin sendirian. Merindukan Ibunya yang mungkin sekarang sedang menjaga toko kue keringnya. Juga merindukan Ayah, yang entah sekarang sedang tertawa atau meledeknya di atas sana.

Lanang tidak tahu.

***

Bola mata Sam tidak sengaja melihat pergerakan Lanang yang tadinya terlihat mengobrol bersama Mbak Rina, sebelum berjalan pergi meninggalkan gadis itu ke arah salah satu gang dan punggung cowok itu sudah tidak terlihat. Dia menatap Jihan yang sejak tadi mengajaknya mengobrol, merasa bersalah.

BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang