26 "Tentang kenyataan untuk menjadi lebih kuat"

231 33 9
                                    

Sekitar pukul 10 malam, Zidan, Heri dan Felix menginjakkan kaki mereka di rumah Sam yang terlihat lebih sepi. Mereka tahu bahwa ini sudah cukup malam dan Ibu Sam tadi terlihat membuka pintu rumah dengan wajah sedikit muram dan mereka sempat melihat bekas air mata. Tetapi mereka jelas tidak berani bertanya karena ketiga orang itu hanyalah orang luar dan mereka tidak tahu pertengkaran seperti apa yang terjadi di antara Lanang dan Sam. Kedua orang itu, meskipun salah satunya terus menolak dan satunya lagi terus mendekat, mereka jelas bukan tipe saudara yang bertengkar sampai separah ini. Dibandingkan Heri dengan Ishak yang tidak pernah akur—atau sebut saja Heri yang nggak mau akur—Lanang dan Sam itu ibarat pasangan suami istri tetapi istrinya terus menolak kasih sayang suaminya yang berlebihan dan suaminya yang terus saja mengganggu istrinya.

Ketika Ibu Sam dan Lanang mengantarkan mereka ke depan pintu kamar Sam, wanita itu cuma tersenyum lemah dan pamit kembali ke kamarnya. Sekarang tinggalah 3 orang remaja yang saling pandang dengan dahi berkerut dalam lalu Zidan memberanikan diri mendorong pintu kamar Sam, melihat sahabatnya yang duduk diam di atas kasur dengan pandangan kosong dan sama-sama memiliki wajah muram dan bekas air mata. Lelaki itu lebih kacau daripada tadi sore ketika dirinya pergi begitu saja akibat Dhidit dan rahasia yang disimpan Jihan.

Soal Jihan, Heri sendiri juga tidak begitu paham atas kehendak kembarannya itu. Padahal Heri sudah menyuruh saudarinya untuk jujur pada Sam dan percaya padanya. Tetapi Jihan tetap merasa takut dan merasa bersalah. Terlebih kehadiran Dhidit sore tadi membuat Heri jadi pengin ikutan memukul pria itu—sekarang Heri sudah tidak takut lagi pada lelaki itu karena jabatan Dhidit sudah dia pegang untuk satu tahun ke depan.

Lupakan soal itu terlebih dahulu, ketiga remaja tersebut pun sudah masuk ke dalam kamar Sam yang jelas-jelas lebih berantakan daripada biasanya. Saking sudah lamanya mengenal Samudera. Lelaki itu bukan jenis cowok yang suka melempar-lempar barang dan membuat kamarnya seperti kandang hewan. Meskipun tidak benar-benar rapih, setidaknya tidak ada buku-buku berserakan di lantai atau sprei-nya yang kusut. Lampu kamar cowok itu juga dibiarkan mati akan tetapi jendela kamarnya dibuka lebar, membuat angin malam pun menyusup masuk bersama dengan sinar rembulan yang sedang tidak terhalangi awan malam ini.

Felix segera mengambil duduk di samping Sam, Zidan duduk di sisi lain kasur tepat di hadapan lelaki bermata kecil itu, sedangkan Heri duduk di kursi belajar Sam dan melihat buku cowok itu yang terbuka dan menampilkan sebuah foto keluarga Samudera dimana ada Lanang memakai seragam putih abu-abu dan Samudera yang memakai seragam putih biru serta kedua orangtuanya yang tersenyum bahagia. Heri tahu bahwa foto ini diambil sekitar satu bulan sebelum Ayah lelaki itu pergi meninggalkan dirinya dan keluarganya selamanya.

Di buku tulis Sam yang terbuka, tertulis sebuah pertanyaan yang membuat Heri kebingungan. Kedua bola mata cowok itu menyipit dengan dahinya yang semakin berkerut.

"Lo siapa sebenarnya?" cowok itu melirik dua sahabatnya sebelum menatap Samudera yang masih menatap dinding di sampingnya dengan pandangan kosong dan wajah muram. "Sam, are you okay?" Heri bertanya khawatir.

Samudera tidak menjawab dengan anggukan maupun gelengan. Lelaki itu hanya mengedipkan kedua matanya sekilas lalu kembali menatap dinding dengan pandangan kosong—tetapi setelah diperhatikan, daripada pandangan kosong, Samudera seperti sosok cowok yang begitu kecewa. Kekecewaan cowok itu pastinya bukan hanya soal Jihan, tetapi pasti ada hubungannya dengan Abangnya sendiri yang sekarang mengungsi di rumah Felix.

"Lo nggak perlu cerita kalo nggak mau, Sam. Kita tetap di sini, kok, nggak bakal pergi," Felix menarik Sam ke dalam rengkuhannya sembari mengusap puncak kepala cowok itu yang kini bergerak meringkuk dan membalas pelukan sahabatnya sembari menangis kembali. Rasanya Felix dan Heri tidak pernah melihat tangisan Sam yang seperti ini. Samudera pernah menangis, tetapi jelas tangisan yang sekarang mereka lihat bukanlah tangisan dari cowok yang kesenengan memenangkan lomba band atau saat cowok itu menonton film melodrama.

BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang