Hari Itu

14 1 0
                                    

"Bu, selamat ulang tahun." Jeonghan memberi hormat di depan rak penyimpanan abu. Ia kemudian berjalan mendekat dan meletakkan sekuntum bunga. "Aku tidak tahu apa ibu suka bunga lili, tapi aku membawanya." Lanjutnya lagi. Seungkwan yang ada di belakangnya menarik tangan Jeonghan. Ia bergantian mendekat ke guci abu itu.

"Jihoon sudah baik sekali kepada kami semua. Kurasa itu semua menurun dari ibu." Kata Seungkwan. Jihoon yang berada di belakangnya hanya bisa tertawa kecil. Seungkwan menoleh dengan sinis. "Hey, aku sedang berbicara." Jihoon mengangguk dan tangannya mengisyaratkan untuk melanjutkan.

"Jihoon-ah, habislah kau saat giliranku berbicara." Bisik Seokmin. Jihoon yang berada di sampingnya memukul perut Seokmin. Seokmin sedikit merintih. "Lihat kan? Akan kuadukan ke ibumu." Jihoon tersenyum lebar lagi.

Setelah beberapa kalimat dilontarkan Seungkwan, ia berjalan mundur, sejajar dengan yang lain. Seokmin yang sudah mengambil satu langkah, ditahan oleh Jihoon. "Kurasa ini giliranku." Jeonghan dan Seungkwan serempak tertawa kecil.

"Seokmin-ah, kau bisa mendapat giliran lain waktu." Ujar Jeonghan tanpa melihat ke Seokmin. Seokmin hanya bisa menghela napas kesal.

Jihoon kini sudah berada di hadapan abu ibunya. Ia tidak menangis hari ini. Entah karena ada tiga temannya yang melihat, atau karena memang ia sedang tidak ingin menangis. Ia meletakkan satu buket bunga segar yang sedari tadi ia pegang di tangannya. bunga itu sedikit besar untuk diletakkan di sebelah guci abunya. Ia kemudian menunduk dan meletakkannya di lantai.

"Ibu—" Jihoon tidak langsung melengkapi kalimatnya. Ia menoleh ke belakang, ke arah tiga sahabatnya. Semuanya tersenyum balik padanya. Jihoon meluruskan pandangannya kembali. "Aku bahagia. Jangan khawatirkan aku." tangan Jihoon terlihat tidak tenang. Ia memainkan ujung bajunya dan dengan ragu melanjutkan kalimatnya. "Ayah juga bahagia dengan anak barunya. Dan aku tidak marah kepadanya. Kurasa itu bagus, benar kan?"

Seketika suasana menjadi hening. Ketiga temannya mendengar kalimat itu. mereka mengerti situasi yang terjadi pada Jihoon. Mereka tahu bahwa bahu Jihoon yang tegar itu selalu lelah ketika hari berakhir. Sesungguhnya, banyak hal baik yang masih terjadi di hidup Jihoon. Hanya saja bagi Jihoon, semua hal baik itu tidak ada di tempatnya.

Ibu kandung Jihoon meninggal ketika Jihoon hampir lulus sekolah dasar. Keluarga ibunya ingin menyimpan abu ibunya di Seoul, sedangkan Jihoon dan ayahnya tinggal di Busan. Setelah lulus, Jihoon ingin pindah ke Seoul agar bisa dekat dengan ibunya. Tetapi ayahnya tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Dengan segala pertimbangan, ayahnya menyewa satu unit apartemen yang Jihoon tinggali sekarang. Jihoon mulai hidup mandiri sejak itu. mungkin awalnya sulit untuk anak seumurnya. Tapi keluarga ibunya sering datang dan membantunya. Entah itu hanya membawakan lauk, atau mengajarkannya pengetahuan dasar untuk seseorang yang hidup sendiri. Seperti waktu yang tepat untuk mencuci pakaian, jadwal rutin membersihkan rumah, berbelanja, dan hal kecil lain.

Setelah beberapa lama, ayah Jihoon menikah lagi dengan kenalannya di kantor. Jihoon tidak hadir di hari pernikahannya. Ibu tirinya mencoba mendekati Jihoon, tapi itu tidak berhasil. Jihoon mengira ayahnya mencari pengganti untuk ibunya. Adik tirinya lahir kemudian. Sejak saat itu, ibu tirinya tidak berusaha merangkul Jihoon lagi. Mereka terlihat bahagia hidup bertiga. Jihoon menganggap dirinya terbuang. Tapi kemudian ia sadar, akan egois jika ia meminta ayahnya untuk tidak berubah dan tetap menomorsatukan dirinya. Ia kemudian mencoba hidup dengan itu. tapi perlahan hal itu menyiksanya. Pikiran bahwa ayahnya bahkan tidak berada di belakangnya lagi. Pikiran bahwa tidak ada orang yang akan membantunya saat ia jatuh, atau mencarinya saat ia menghilang.

Tetapi kemudian ia bertemu dengan tiga sahabat yang lebih dari segalanya bagi dirinya. Itu sudah cukup. Ia bahagia. Seperti yang ia katakan pada ibunya barusan.

PinwheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang