Bagian Enam : Foto Lama

9 0 0
                                    

Paman dan bibi Seokmin baru saja menutup pintu. Mereka akan menjaga Seokmin untuk malam ini. Jeonghan, Jisoo, dan Seungkwan berdiam dengan canggung di depan kamar Seokmin. Seungkwan membaca tatapan Jeonghan ke arah lantai, tidak menatap matanya ataupun Jisoo. Ia akhirnya memecah keheningan.

“Aku sudah menghubungi Jihoon. Dia tidak menjawab.” Ujar Seungkwan, langsung menutup bibirnya setelahnya.

Jeonghan mengangkat wajahnya. Ia menyadari Ji Young juga berdiri di ujung lorong. “Kau harus pulang, Jisoo-ya. Pastikan dirimu aman.” Jisoo memasang wajah khawatir. “walau bagaimanapun, kau target sebenarnya hari ini. Kita tidak bisa mengambil risiko.” Lanjut Jeonghan.

Jisoo seperti kehabisan kata-kata. Ia bahkan seperti tidak menghiraukan perkataan Jeonghan. Pikirannya seakan tidak berada di ruangan. Hampir membuat Jeonghan yakin bahwa Jisoo juga terkejut dengan kejadian ini. Namun ia masih tidak bisa mempercayai seseorang yang mungkin bisa membahayakan teman-temannya. Ji Young berjalan mendekat.

“Tuan, ayo kita pulang. Tuan besar menunggumu.” Ji Young menyentuh pelan siku Jisoo. Mata bulat seperti rusa itu berputar sesaat, sebelum akhirnya fokus ke lawan bicaranya. Jisoo hanya mengangguk. 

“Ma—“

“Tidak apa-apa. Pulanglah.” Jeonghan memotong permintaan maaf Jisoo. Seungkwan memberikan respon dengan mengangguk juga. Ji Young menarik Jisoo pelan, mereka berdua pun berjalan pelan sampai menghilang dari pandangan Jeonghan dan Seungkwan.

“Apa yang kita lakukan sekarang, Jeonghan-ah?” Seungkwan tidak bisa menyembunyikan rasa takut dan bingungnya. “Haruskah kita pergi ke rumahmu dulu? Ayahmu bisa saja kembali ke rumah.”

Jeonghan menoleh ke arah Seungkwan. Tatapannya sulit diartikan. Antara marah, atau meremehkan. Ia mendengus, menggigit dinding pipi bagian dalamnya. “Jika dia akan pulang, bukankah seharusnya sudah dari dulu?” Seungkwan tidak memberi respon. Jeonghan menepuk pelan pundak Seungkwan. “Dan kenapa kau tidak memanggilku ‘Hyung’?”

Seungkwan dengan sedikit lega, tersenyum memandang wajah sahabatnya itu. “Aku sedari dulu tidak ingin memanggilmu ‘Hyung’. Itu menggelikan.” Mereka berdua tertawa kecil. “Lalu kita harus kemana sekarang?”

Jeonghan berpikir selama lima detik. Seungkwan sambil memainkan ujung sweaternya dengan gelisah, menunggu jawaban Jeonghan. “Ayo kita ke tempat Jihoon. Kita harus pastikan mengapa dia tidak menjawab ponselnya.”

“Ah, tapi—“ Seungkwan sedikit ragu ingin melanjutkan. “Tapi bisakah kita pulang ke rumahku dulu? Aku ingin mengganti baju. Rumah sakit membuatku tidak nyaman.”

“Benar juga. Lebih baik kita membersihkan diri dulu. Bolehkah aku meminjam bajumu, Seungkwan?”

Tentu, tanpa perlu berpikir, Seungkwan mengangguk. Dua sahabat itu bergegas berjalan cepat keluar dari rumah sakit.

***

Setelah 10 menit berjalan kaki, mereka sudah hampir bisa melihat rumah Seungkwan. Di antara rumah-rumah di sekitarnya yang sudah menyalakan lampu depan, hanya rumah Seungkwan yang gelap gulita. Sepanjang perjalanan, Jeonghan dan Seungkwan tidak berbicara. Jeonghan bingung harus memulai darimana. Orang yang tahu bahwa ia curiga dengan keberadaan Jisoo yang begitu tiba-tiba di lingkaran pertemanan mereka adalah Jihoon dan Seokmin, yang mana keduanya sedang tidak bisa diajak berdiskusi.

Sesampainya di teras, Seungkwan menyandarkan tangannya di pintu, untuk menyeimbangkan dirinya yang ingin melepaskan sepatu sambil berdiri. Namun belum sempat ia mengangkat satu kakinya, ia merasakan pintu rumahnya terbuka tanpa perlawanan. Seungkwan langsung menoleh ke arah Jeonghan dengan mata yang melebar dan raut wajah takut. Jeonghan langsung mengambil kayu bekas gagang sapu yang bersandar di samping jendela Seungkwan dengan gerakan sigap. Ia meregangkan tangannya, mengisyaratkan Seungkwan untuk berdiri di belakangnya. Seungkwan menarik napas dan menuruti isyarat itu. Jeonghan kini memegang kayu itu dengan kedua tangannya. 

PinwheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang