Bagian Sembilan : Pengakuan Paman

7 0 0
                                    

Lima orang itu duduk di meja panjang, dengan formasi tiga-dua di tiap sisi meja. Paman Seokmin duduk di antara Seokmin dan Jeonghan. Berseberangan dengan paman Seokmin, Jisoo dan Seungkwan duduk dengan kedua tangan di paha. Di depan mereka masing-masing sudah tersedia gukbap dengan asap membumbung tinggi keluar dari mangkuknya. 

“Ayo makan!” paman Seokmin dengan senyuman ramahnya mencoba membuat teman-teman keponakannya itu nyaman. 

“Terimakasih makanannya, Paman.” ujar Seungkwan. 

Mereka mulai makan berbarengan. Sesekali paman Seokmin bergumam dengan nikmat karena kelezatan gukbap yang selalu ia santap selama beberapa hari belakangan saat menemani Seokmin itu. 

“Lain kali, jangan membolos hanya untuk menemui temanmu. Seokmin tidak kabur kemana-mana, kok.” paman Seokmin tertawa kecil. Jeonghan menyahutnya dengan tawa sopan.

“Ah, tidak Paman. Kami memang ada sedikit keperluan.” ujar Jeonghan.

Jeonghan dengan sekuat tenaga mencoba untuk tidak mengungkit apapun tentang kejadian Seokmin di depan pamannya. Sebelum mereka duduk di tempat makan itu, Seokmin berbisik mengatakan bahwa pamannya tidak mengetahui tentang pelaku yang melukainya. Itu semua ia serahkan pada Jeonghan, apakah ingin membuka kenyataan itu atau tidak.

“Paman, apa kami boleh bertanya sesuatu?” akhirnya Seungkwan memulai tujuan mereka untuk menemui paman Seokmin. Paman Seokmin yang masih mengunyah, hanya membalas dengan anggukan antusias.

“Paman, tapi maaf jika ini akan menyinggung perasaan paman.” tambah Jeonghan.

Paman Seokmin menelan makanannya. “Aigoo! perkataan apa yang bisa menyinggung orang tua ini?” Ujarnya sambil tertawa lugu. Jeonghan menarik napas.

“Paman ingat dulu saat kami SMP, Seokmin, saya, Seungkwan, dan Jihoon pernah pergi piknik sekolah ke Gyeongju? Sekitar dua hari satu malam kalau tidak salah.” Jeonghan membuka diskusi. Paman Seokmin memelankan kunyahannya. Ia tidak mencoba menatap Jeonghan di sebelahnya, namun ia menatap Seungkwan.

“Eung.” jawab Paman Seokmin singkat. 

“Apa hari itu, di pabrik ada sesuatu terjadi?” Kali ini paman Seokmin benar-benar berhenti mengunyah. Ia mencoba menelan makanannya yang masih setengah halus, dengan sulit. Paman Seokmin menghela napas keras.

“Tidak ada untuk kalian khawatirkan.”

“Paman, jawablah dengan jujur.” Seokmin menepuk paha pamannya. 

“Paman berjanji tidak akan membicarakannya.” ujar paman Seokmin. Keempat teman itu saling tatap. 

“Dengan siapa paman berjanji?” Seokmin kembali bertanya. Paman Seokmin meletakkan sendoknya di atas meja dan menegakkan tubuhnya.

“Untuk apa kalian membicarakan omong kosong ini? Makanlah! Paman ada jam malam.” Suara Paman Seokmin kini mulai meninggi. Keempat teman  itu kini mulai kehabisan keberanian. Seokmin mengerucutkan bibirnya dan menyantap gukbap yang mulai dingin di hadapannya. Begitu juga Seungkwan dan Jeonghan. Keberanian mereka luntur dengan cepat, karena ini adalah paman Seokmin. Orang yang dengan baik hati merawat Seokmin selayaknya anak yang dilahirkan istrinya. Lima porsi gukbap di atas meja ini cukup untuk makan satu hari di rumah keluarga kecil itu.

“Paman tahu Hong Eunki?” Jisoo memecah keheningan. Tiga temannya yang lain menatap Jisoo dengan mulut penuh. Paman Seokmin mengangkat kepala. Ekspresinya seperti setengah tersinggung.

“Tidak.” ujarnya lugas.

“Bagaimana dengan Baek Dohyun?” 

Mata paman Seokmin membesar. “Kau mengenalnya?”

PinwheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang