Bagian Sebelas : Eksekusi

8 0 0
                                    

Seungkwan bangun pagi sekali hari itu. Bahkan mungkin ia tidak sempat tidur semalaman. Matanya terus melihat ke arah jam di dinding kamarnya, sambil berharap waktu tidak akan berjalan secepat sekarang. Ia berjalan keluar rumahnya, dan dengan wajah datar ia menyirami tanaman sayur di teras rumahnya. Ia tidak bisa menahan untuk tidak menoleh ke arah gerbang. Ia berjalan pelan, menapaki jalan menurun dan membuka pintu gerbang. Mobil sedan tua itu ia parkir di jalan depan rumahnya. Kendaraan maut, pikirnya. Ia menghela napas keras dan mencoba untuk tidak membayangkan skenario mengerikan di kepalanya. Ia mengambil satu napas lagi dan kembali ke dalam rumah.

Jeonghan masih tertidur lelap. Ponselnya tergeletak di sebelah kepalanya. Hal terakhir yang terbuka di ponselnya adalah percakapannya dengan Jisoo. Anehnya, tadi malam ia mendapat firasat. Ia merasa harus melakukan sesuatu demi rencana itu. Dengan segala keberanian, ia meminta agar bisa berada di samping Jisoo di hari peruntuhan pabrik besok. Ia ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Jisoo awalnya meragukan niat Jeonghan, mengatakan itu tidak aman. Tetapi pada akhirnya ia menyetujui. Jeonghan akan datang sebagai warga sekaligus sahabat Jisoo yang ‘penasaran’ ingin melihat prosesi tersebut.

Seokmin mengantarkan pamannya ke depan pintu dan tersenyum simpul.

“Semangat untuk hari ini, Paman.” Ujarnya penuh kasih. Sang paman tersenyum dan mengangguk lalu pergi untuk bekerja. 

Seokmin adalah yang paling gusar pada hari itu. Ia hanya bisa berdoa. Semua temannya pada hari itu akan berada di pabrik, namun dirinya tidak. Kondisi lukanya yang masih sering membuatnya nyeri itu membuat teman-temannya tidak rela jika Seokmin harus tersakiti kembali. Karena, secara umum, rencana mereka adalah satu : kabur. Dan Seokmin tidak bisa membuat gerakan berlebihan pada torsonya. Menjadi bagian dari rencana sudah bukan merupakan pilihan lagi. Ia akan menunggu. Pikirnya, ia akan menunggu di lapangan atau mungkin di apartemen Jihoon. Ia belum memutuskan.

Jisoo akan berangkat bersamaan dengan ayahnya, namun di mobil yang berbeda bersama Ji Young. Saat matahari sudah mulai naik, ia mulai berpakaian dengan rapi. Ia bisa mendengar hari itu semua pengawal dan asisten ayahnya juga sudah mulai sibuk. Suara sepatu terdengar menggema di penjuru ruang. Di lantai bawah, semuanya saling berbisik, berlalu-lalang, memeriksa hal-hal tertentu, dan mempersiapkan diri untuk hari itu. Jisoo mengintip dari luar kamar ayahnya yang terletak di lantai dua. Pria paruh baya itu berpose di depan cermin, dan dengan bantuan seorang pria lain yang berpakaian necis, ia mencoba memilih dasi. Dasi yang cocok dengan warna jasnya, dan yang bisa menonjolkan warna matanya. 

“Tuan Jisoo!” Bisik Ji Young. Jisoo menoleh cepat. Ia melihat Ji Young lima meter di hadapannya. Ia meninggalkan pintu kamar ayahnya dan mendekat ke Ji Young sambil sesekali menyentuh alat bantu dengar yang tidak nyaman di telinganya. 

“Semuanya siap?” tanya Jisoo. Ji Young mengangguk pelan. Ji Young juga berpakaian necis, dengan rambut yang licin.

“Aku harap Seungkwan juga siap.” Ujar Ji Young pelan. 

“Ah, benar. Para pengawal? Apakah mereka menyiapkan sesuatu?” Jisoo mencoba mengedarkan pandangan ke semua pengawal berjas yang berlalu-lalang di sekitar pintu keluar di lantai bawah.

“Uhm.. komunikasi, in-ear, taser. Hanya itu yang kutahu.” jawab Ji Young.

“Kalau begitu, ayah pasti yang membawa pistolnya.”

Mata Ji Young membesar. “Pistol? Aku tidak tahu tuan besar punya pistol.”

“Dia punya satu.” Jisoo menatap Ji Young. “Dia pernah menodongkannya padaku.”

***

Langit sedikit kelabu, dan angin yang bertiup membawa hawa dingin. Seperti akan turun hujan, namun Jisoo tidak menyiapkan payung. Perjalanan mereka tidak terlalu lama menuju pabrik gula, kurang dari satu jam melalui jalan bebas macet. Mobil Jisoo dan Ji Young adalah yang paling belakang dari rombongan. Ia meminta ayahnya untuk tidak terlalu menghiraukannya jika ia menepi sebentar untuk menjemput sahabatnya, Jeonghan.

PinwheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang