Bagian Dua Belas : Aftermath

9 0 0
                                    

Seokmin meringkuk di lantai. Matahari sudah menghilang. Ruangan apartemen Jihoon gelap tak bercahaya sedikitpun. Kepala Seokmin ikut terbenam di depan dadanya. Nyeri di perutnya membuat pikirannya semakin kelabu. Di kepalanya kini hanya ada seribu satu skenario buruk yang mungkin terjadi dengan ketiga temannya. Sesekali ia ingin menyalahkan dirinya yang tidak bisa ikut menjaga teman-temannya. Namun ini bukan waktunya. Ia harus tetap sadar dan tajam.

Belum ada pesan atau panggilan ke ponselnya sejak ia menghubungi Jeonghan tadi, ketika matahari masih bergantung nyaman. Udara di kamar Jihoon memanggang akal sehatnya. Semuanya menyesakkan. Ia tidak menghiraukan perutnya yang berbunyi karena lapar, akibat seharian belum makan. Ia berpikir mereka akan makan bersama setelah hari gelap. Mungkin dengan suasana yang aneh, karena mereka akan makan bersama ayah Jeonghan yang sudah lama 'hilang', dan kakak Seungkwan yang bahkan tidak ia ingat lagi wajahnya. Ketika ia sampai ke skenario nomor sekian ribu, ponselnya berbunyi. Ia menegakkan kepalanya dengan satu gerakan cepat, dan mengangkat panggilan itu.

"HYUNG?!!" Teriak Seokmin, terus menggenggam ponselnya dengan keras seakan ponsel itu mudah tergelincir dari tangannya.

"Seokmin-ah." Suara diujung telepon itu terdengar gusar.

"Bagaimana Jeonghan? Jisoo? Apa Seungkwan berhasil menyetir keluar dari sana?! Jawab aku, Hyung!" Seokmin mulai kehilangan kesabarannya.

"Rencana kita gagal, Seokmin-ah."

Ga–gal? 

"Keadaannya rumit sekarang. Aku akan menjemputmu, dan kita akan ke kantor polisi."

"Po–polisi?!" Itu adalah skenario baru yang belum terpikirkan oleh Seokmin. "Si–siapa yang ada di kantor polisi?"

Ji Young diujung telepon menghela napas sebelum menjawab. "Jeonghannie."

Seokmin kehabisan pertanyaan. Ia tidak menyangka jawaban itu. Skenario terburuk dalam kepalanya hanya tiba di kematian ayah Jisoo, dan ayah Jeonghan atau kakak Seungkwan masuk penjara. Kenyataan bahwa Jeonghan lah yang berada di ujung tanduk, Seokmin membutuhkan waktu untuk mempercayainya.

"Aku segera tiba di apartemen Jihoon. Kau segeralah turun. Aku akan menceritakan semuanya di mobil."

Seokmin mengangguk, meski Ji Young tidak bisa melihatnya. "Baik, Hyung." 

Seokmin meraih jaket, ransel kecilnya, dan tetap menggenggam ponselnya. Ia keluar dari ruangan Jihoon secepat mungkin. Ia terburu-buru menyusuri tangga turun, karena liftnya rusak seperti biasa. Suara sepatunya yang beradu dengan tangga tak berkeramik semakin membuat jantungnya berdegup kencang. Sesekali ia sempat nyaris kehilangan pegangan, namun ia berhasil tetap berdiri kokoh. Sesampainya Seokmin di pijakan anak tangga terakhir, Ji Young datang dan mengerem mobilnya dan menghasilkan suara berisik gesekan ban dengan jalan berbatu.

Seokmin langsung membuka pintu kanan depan dan melompat masuk. Wajah Ji Young terlihat gelisah, namun badannya tenang. Ia tidak terlihat mengejar napasnya. Berbeda dengan Seokmin yang sepertinya sudah kehilangan tenaganya.

"Hyung, apa yang terjadi?!"

"Aku akan membawamu bertemu Jeonghan. Biar kau dengar langsung dari Jeonghan." Ji Young langsung tancap gas menuju ke arah pusat kota, keluar dari distrik kecil itu.

"Dia baik-baik saja?"

Ji Young menoleh sesaat, melihat Seokmin yang menatapnya penuh harap cemas. "Ya. Dia baik saja. Tapi–"

"Tapi apa?"

"Tunggu, aku ingin kau dengar dari Jeonghan dulu. Aku akan menceritakan selebihnya setelah itu."

Ji Young tetap teguh tidak ingin mendahului Jeonghan untuk menceritakan kebenaran yang terjadi. 

"Tunggu, kalau Jeonghan di kantor polisi, di mana Jisoo? Seungkwan?"

PinwheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang