Home

9 1 0
                                    

"Jihoon-ah, terimakasih!" sahut tiga orang itu berbarengan. Jihoon tersenyum dari pintu, melihat mereka menyusuri koridor menuju tangga.

"Jaga bolaku baik-baik ya! Besok akan kuambil." teriak Seungkwan sambil melambaikan tangannya. Jihoon tidak menjawab dan hanya mengangguk. Setelah ketiga punggung orang itu sudah tidak terlihat, Jihoon masuk kedalam apartemennya dan mengunci pintu.

Jihoon masih tersenyum beberapa saat setelah ia menutup pintu. Ia berjalan menuju tengah ruangan yang hanya beberapa langkah dari pintu. Ia merapikan barang-barang yang berserakan akibat tiga orang sahabatnya itu. ia bahkan meletakkan bola milik seungkwan di bawah meja belajarnya. Jihoon mengambil empat gelas yang dipakai minum olehnya dan teman-temannya dan membawanya ke bagian dapur.

Sembari mencuci gelas-gelas itu, ia bergumam. Susana hatinya sedang baik, karena teman-temannya tentunya. Beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi. Ia menoleh sebentar ke arah ponsel diatas tempat tidurnya untuk memastikan. Tangannya bergerak lebih cepat untuk menyelesaikan cuciannya. Ia berlari kecil menuju kasurnya dan duduk disana. Setelah ia melihat nama penelpon di layar, perasaannya berubah. Entah menjadi lebih buruk atau menjadi lebih baik.

"Halo, ayah?" ujar Jihoon.

"Aigoo—Jihoon-ah. Bagaimana kabarmu? Apa sekolahmu baik-baik saja?" suara pria dewasa di ujung telepon itu terdengar antusias.

"Yah, begitu. semuanya baik-baik saja." Jawab Jihoon. Ia menoleh dan menatap ke kasurnya, memain-mainkan selimutnya dengan gerakan pelan.

"Syukurlah. Kau tidak kesulitan tinggal sendiri di apartemenmu, kan? Ayah dengar Seoul sedang panas akhir-akhir ini. Kau ingin pindah ke tempat yang lebih bagus? Ayah punya—"

"Tidak, Yah. Aku sungguh baik-baik saja." Potong Jihoon. Ayahnya terdiam sesaat. Begitu juga Jihoon. Tangannya berhenti memainkan selimut. "Ada yang ingin ayah katakan?"

"Ah, benar. Ayah ingin bertanya, apa kau membawa akta kelahiranmu ke Seoul?" Tanya ayah Jihoon.

"Iya. Kenapa?"

"Ayah butuh scan akta kelahiranmu untuk keperluan pendataan di kantor."

"Ah, begitu. tidak apa-apa jika kukirimkan besok?" tanya Jihoon. Ayahnya diujung telepon tidak langsung menjawab. "Aku agak lelah hari ini. Hari sudah gelap. Tapi jika memang ayah butuh untuk hari ini—"

"Tidak, tidak. Besok saja tidak apa-apa." Potong ayah Jihoon. Lagi, terjadi keheningan diantara mereka.

"Besok ulang tahun ibu, bukan?" kata Jihoon.

"Benar." Jawab ayahnya. Jihoon menoleh. Ia memandang lurus ke depan, ke arah meja belajarnya yang tepat berseberangan dengan tempat tidur.

"Ayah akan ke Seoul? Aku sudah memesan bunga." Tanya Jihoon lagi.

"Jihoon—besok Jisung ada pertunjukkan drama di sekolahnya. Ayah rasa waktunya tidak cukup untuk menyusul ke Seoul."

"Ayah sudah dua kali tidak datang ke Seoul saat hari ulang tahun ibu." Ujar Jihoon. Kini nadanya semakin tinggi. Ia meremas kepalanya dengan tangannya yang lain. Jihoon memejamkan matanya keras-keras.

"Ini penting bagi Jisung, ayah harap kau tidak apa-apa dengan itu."

"Ayah tahu ini juga penting bagiku, kan?"

"Bagaimana jika—"

Ponsel Jihoon kini sudah berada di kolong meja belajarnya. Jihoon masih tidak bisa membuka matanya. Rasa penyesalan kembali memenuhi dadanya. Tenaga di sekujur tubuhnya hilang. Ia membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Perlahan ia mendekatkan kedua lututnya ke dada, sambil membenamkan kepalanya diantara kedua tangannya. ia menutup kedua telinganya dengan tangannya yang lelah.

PinwheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang