Jisoo menginjakkan kaki di rumahnya. Marmer yang mengkilat dan bau harum bunga langsung menyambutnya. Rumah bertingkat tiga itu selalu terjaga seperti itu, tidak ada yang boleh berubah. Mata kecil Jisoo menangkap ayahnya di tengah ruangan. Memegang ponselnya, dengan kaki yang diluruskan diatas sofa panjang. Ayahnya terlihat tidak sadar dengan kedatangan Jisoo. Ia berjalan mendekat ke arah ayahnya.
"Yah!" panggilnya. Tanpa menoleh, ayahnya merespon.
"Ng?" gumamnya keras. Jisoo lanjut duduk disebelah ayahnya. Ayah Jisoo adalah seorang pengusaha yang terjun ke dunia politik. Berbekal nekat dan relasi yang luas, ia mencalonkan diri menjadi pejabat daerah. Ibu Jisoo jarang berada di rumah, karena mengurus bisnis keluarga di Busan. Ayahnya pernah menikah dua kali. Jisoo adalah putera dari istri keduanya. Istri pertamanya sudah tiada sebelum ibu Jisoo menikah dengan ayahnya.
"Bolehkah temanku kursus bersamaku?" tanya Jisoo. Ayahnya membuat raut wajah heran, masih tidak melihat ke arah Jisoo.
"Apa maksudmu? Ayah tidak bisa melarang temanmu untuk kursus di tempat yang sama denganmu. Itu kan tempat umum." Jisoo menarik napas mendengar jawaban ayahnya.
"Bisakah ayah membiayainya?" tanya Jisoo. Kali ini ayahnya menoleh. Ia mendatarkan raut wajahnya.
"Kau tahu tempat kursusmu mahal, kan? Ayah harus berhemat untuk kampanye." Nada ayah Jisoo memuncak. Jisoo sudah terbiasa dengan nada itu. "Kau sudah meminta apartemen dekat sekolahmu, ayah kabulkan. Padahal kau selalu bisa pulang kerumah dengan mobil dan supir. Sekarang permintaanmu ini?"
"Kalau begitu aku ingin pindah tempat kursus."
"Kau gila ya? Tempat kursusmu itu terbukti membawa anak muridnya ke universitas terkemuka. Ayah tidak ingin kau belajar di tempat sembarangan."
"Ayah, semua tempat sama saja. Itu tergantung kemampuanku. Aku lelah harus pergi kursus dan kembali ke apartemenku. aku ingin pindah tempat kursus ke dekat apartemenku. aku tahu satu tempat yang bagus. Semua anak pintar di sekolahku kursus di sana."
Ayah Jisoo menggelengkan kepalanya. "Ayah tidak pernah mengerti keinginanmu. Ayah sudah memberimu kebebasan untuk sehari-hari. Untuk masa depanmu, kau harus mengikuti aturan ayah!"
"Ayah bahkan tidak membiarkanku membawa teman ke apartemenku. sama saja aku tidak bebas."
"Kau tahu teman-temanmu memiliki jalan hidup yang berbeda, kan?"
"Tapi—" Jisoo tidak bisa melanjutkan. Tangannya terkepal mendengar ayahnya yang tidak bisa mundur dan mengalah.
Mata ayah Jisoo berubah ketika ia melihat sesuatu. Jisoo ikut membesarkan matanya. Tangan ayah Jisoo bergerak ke telinga puteranya. Jisoo dengan cepat menampik tangan itu dan berdiri.
"Apa yang—"
"Berikan aku kartu. Aku akan mengurus keperluan kursusku di tempat yang baru. Mulai senin aku tidak akan datang ke tempat yang sekarang." Jisoo mengulurkan tanganya. Ayahnya yang masih memasang wajah heran itu terdiam sejenak. Ayahnya kemudian ikut berdiri. Tinggi ayahnya hanya berbeda sedikit dari Jisoo. Tentu Jisoo lebih tinggi, ditambah posturnya yang ramping. Ayahnya meraih dompet dari saku celana belakangnya dan mengeluarkan sebuah kartu kredit.
Jisoo mengambil kartu itu dan berjalan ke arah pintu keluar. Supir pribadinya yang dari tadi berdiri di dekat pintu, yang mungkin saja mendengarkan semua percakapan itu, melihat ke arah Jisoo.
"Hong Jisoo!" teriak ayah Jisoo. Sang supir yang kaget membesarkan matanya. Jisoo melihat ekspresi supirnya yang sudah tidak nyaman. Jisoo lalu berbalik badan.
"Aku akan berkunjung tiap beberapa minggu." Kata Jisoo. Ia berbalik lagi, menghadap supirnya. "Hyung, ayo." Kata Jisoo. Supir pribadinya yang masih berusia muda itu membungkuk hormat dan membiarkan Jisoo berjalan lebih dulu. Setelah membungkuk ke arah tuan besar, pemuda itu menutup pintu di belakangnya dan menyusul Jisoo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pinwheel
Fanfic[TAMAT] Kehidupan empat orang sahabat berubah perlahan saat seorang lelaki dari keluarga terpandang pindah ke sekolah mereka. Jeonghan, Jihoon, Seokmin, dan Seungkwan menerima Jisoo ke dalam lingkar pertemanan mereka dengan tangan terbuka. Hingga pe...