03. "Soalnya nggak ngajak."

10 3 0
                                    

"Bri, kaki lo nggak papa?"

Bryan menatap Aurel bingung. Sudah jelas kakinya masih bekerja normal, kenapa masih dipertanyakan?

"Nggak," balas Bryan berbohong.

"Bisa jalan?"

"Enggak."

Aurel menghentikan langkahnya. Menghentakkan sepatunya ke lantai dan merengut kesal.

"Harusnya lo jawab bisa!" kata Aurel setengah membentak dengan dada naik turun menahan amarah.

Bryan semakin dibuat bingung dengan tingkat cewek didepannya. Sudah bertanya yang retorik, sekarang malah membentaknya setelah diberi jawaban akan pertanyaannya. "Lo liat sendiri gue bisa jalan, ngapain nanya?"

"Oke, besok pulang sekolah kita jalan," final Aurel tersenyum senang. Bryan hendak protes, namun belum juga menjawab, Aurel sudah berbicara kembali. "Nggak ada penolakan, Bri. Soalnya gue nggak ngajak."

Bryan menatap Aurel dengan tampang khasnya, datar hampir menyamai jalanan aspal.

Aurel tak peduli, melihat mobil jemputannya. Aurel segera berlari mendekat, saat akan memasuki mobil Aurel berteriak. "Bye Bryan! Jangan lupa besok pulang sekolah!"

Bryan menatap mobil itu yang semakin lama semakin mengecil. Mulutnya berdecih, apa-apaan gadis itu?

Alah, palingan juga hanya lelucon, besok juga pasti lupa tuh anak.

Bersikap bodo amat. Bryan menaiki motor maticnya, menstater kemudian menjalankannya ketempat kesehariannya sepulang sekolah.

•••

"Tumben telat, Bri?"

Bryan menoleh kearah lawan bicaranya. Itu Alfa, teman ditempat kerjanya.

Iya, Bryan kerja paruh waktu untuk menambah uangnya yang mungkin bisa habis dalam seminggu. Dan disinilah Bryan berada, di Cafe Cempaka, bekerja sebagai pelayan atau sebut saja waiters.

"Macet," sahut Bryan seadanya. Melihat tampang Alfa biasa saja atas keterlambatannya dan bosnya yang super galak pada karyawannya malah melewatinya begitu saja. Bryan mendekati Alfa dan bertanya, "nggak dipecat kan gue?"

Alfa mengalihkan pandangannya dari tumpukan cucian piring kotor menjadi menatap Bryan, kepalanya menggeleng seirama ke kanan dan ke kiri kemudian terkekeh. "Bri, Bri, lo telat cuma sekali. Berharap banget kayaknya kena pecat."

Mata Bryan membulat, baru saja bekerja dua bulan yakali harus nganggur lagi. Bryan menatap Alfa sinis. "Gue bertanya bukan berarti berharap."

Alfa tertawa. Humor Alfa memang sereceh itu, mendengar Bryan menjawab ucapannya dengan nada nyolot sangat lucu.

"Ngapain masih liatin gue Bri? Nggak ganti lo?"

Tanpa babibu kaki Bryan berjalan mengarah ke toilet guna mengganti bajunya tetapi baru dua langkah berjalan, Alfa kembali berdua membuat langkah Bryan terhenti.

"Oh iya, nanti malem ada job lagi." Bryan menoleh, mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya 'jam berapa?' Alfa menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum. "Seperti biasa."

Ramainya pelanggan cafe membuat keduanya tanpa sadar hari mulai malam. Matahari bahkan sudah bersembunyi, bersemayam dibalik bumi untuk tertidur dan tergantikan oleh percikan bintang dan satu keindahan yang selalu bersinar terang diantar beribu bintang. Iya, dia sangat bulan yang merindukan punuknya, eh.

"Huh, hari ini bener-bener melelahkan," keluh Alfa pada Bryan.

"Bersyukur."

"Iya iya, alhamdulillah. Semoga gaji kita nambah juga dah kalo tiap hari cafe rame terus kek sekarang."

Don't Worry, I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang