20. Arvin or Ervin?

8 2 0
                                    

"Gue ... gue–"

"Sekarang lo mau deketin Aurel juga?!" potong Freya cepat. Freya ingat betul bagaimana perilaku lelaki di depannya ini. Freya tidak akan membiarkan apa yang terjadi pada dirinya terjadi pada Aurel. Garis bawah atau perlu cetak tebal sekalian TIDAK AKAN.

"Jawab, Vin!" Freya menyentak, benar-benar tak memberikan lelaki itu waktu untuk menjawab.

"I-it-itu ...." Lihatlah, bahkan Ervin seketika terserang sindrom gagu.

"Dia kak Ervin, Fre. Not Arvin, okay?" Aurel mengelus pundak Freya, berusaha membuat Freya tenang dan emosinya mereda. Satu kata untuk Ervin dari Aurel, kasihan.

Kakak kelasnya itu berada disituasi terpojok sampai sampai tidak bisa mengatakan apapun, bahkan sampai tergagap begitu.

"Bukan, Rel. Jelas-jelas dia itu Arvin, lo jangan kekecoh karena mereka kembar, dong." Freya masih kekeuh dengan pendiriannya, dia percaya jika orang dihadapannya sekarang itu ialah Arvin—Kakak kelas yang dulu sempat berpacaran dengannya, tetapi selalu tak puas dengan satu gadis—yang membuat Freya muak dan berakhir memutuskan hubungan, tidak ingin berhubungan kembali dengannya. Tetapi kenapa dia sekarang kembali?

Adel yang sedari tadi hanya menyimak, membuka suaranya. Kasihan juga Ervin diinterogasi penuh oleh Freya. "Fre, sabar atuh. Dengerin dulu penjelasan Aurel, ya?"

Heran sebenarnya. Harusnya Adel yang akan marah-marah kepada Aurel karena kabur dari rekan setimnya. Tapi sekarang kenapa jadi Freya yang marah? Adel menatap Freya yang menatap Ervin galak. Apa karena dia?

"Penjelasan apa lagi, Del? Udah jelas dia dulu yang pergi tanpa ninggalin kabar apapun. Dan sekarang dia datang ke perkemahan kita dengan nggak tau malunya, lalu dia mau ngedeketin Aurel! Apanya yang harus dijelasin lagi?!"

Beginilah jika Freya sudah membenci seseorang, menurutnya ... apapun asumsinya terhadap orang itu adalah yang paling benar. Ditambah mode emosi seperti sekarang membuat yang memberi masukan tidak ada benarnya, tidak akan didengar, yang ada malah ikutan kena amuk.

Sikap Freya yang seperti ini yang Aurel dan Adel usahakan ubah. Jujur saja, dulu Freya tidaklah seperti ini. Ini terjadi karena Freya terus-terusan dikhianati oleh Arvin, jelas sekali bukan seberapa bencinya Freya kepada lelaki itu?

Dan Ervin yang Freya sangka Arvin itu paham betul bagaimana rasanya saat diposisi Freya kala itu. Tetapi Ervin tak menyangka jika hal itu malah menimbulkan rasa benci dihati Freya. Mungkinkah Freya tidak mau memaafkan kembarannya?

"Pergi lo," usir Freya dingin, tanpa ada rasa belas kasihan.

"Fre, lo–"

"Pergi gue bilang!"

"Kak," pinta Aurel sembari memejamkan matanya lalu melirik ke arah lain.

Ervin paham kode itu, dengan langkah terpaksa Ervin pergi tanpa bisa memberi penjelasan. Tapi baru beberapa melangkah, badannya kembali berbalik karena panggilan Aurel.

"Maaf tapi sekali lagi makasih." Aurel tak enak kepada Ervin, karena lelaki itu yang sudah menolongnya dan Bryan untuk bisa sampai di perkemahan ini. Bukannya mendapat balasan baik malah mendapat kebencian dari Freya.

"PERGI ARVIN! DAN JANGAN COBA COBA UNTUK DEKETIN AUREL ATAU GUE NGGAK AKAN SEGAN-SEGAN UNTUK MUKUL LO!"

Ervin hanya bisa tersenyum lalu pergi dengan perasaan bersalah. Memang bukan salahnya tetapi Arvin adalah saudaranya. Tidak ada saudara yang membiarkan apalagi terima jika saudaranya sendiri mendapat kebencian sebesar itu dari orang lain.

Reyhan yang tak tahu menahu hanya berdiri seperti patung di samping Freya, menyimak saja. Padahal rasa rasanya ingin menanyakan tetapi situasinya sangatlah tidak tepat. Bryan? Jangan tanyakan dia, dia sudah tertidur pulas setelah memberi Reyhan jawaban 'lelah, jangan ganggu'.

"Kenapa pake bilang makasih ke dia sih, Rel?" sulut Freya kesal, melihat wajahnya saja sudah sangat muak. Tapi Aurel malah bertingkah seolah-olah tidak tahu jika Freya membencinya.

"Dia udah nolongin gue sama Bryan, Fre. Kalo nggak ada Kak Ervin, mungkin gue masih dihutan sekarang."

"Cih, paling dia baik-baik ada maunya."

Reyhan mencolek bahu Freya. " Jangan su'udzon. Lo kalo marah nyeremin banget sumpah, takut nih gue."

"LO NGAPAIN COLEK-COLEK?! GUE BUKAN SABUN COLEK! LAGIAN NGAPAIN DI SINI?!" sentak Freya. Belum reda emosinya malah kembali disulut dengan colekan Reyhan.

"Gue khawatir sama bidadar—Aurel!"

"Udah lah itu nggak penting, sekarang yang penting Aurel udah nggak papa!" ujar Adel berseru senang. Memeluk Aurel sebagai rasa untuk menghapus perasaan khawatir.

"Nggak papa gimana?! Dia tadi kakinya terkilir!"

Adel menciut, Freya mode marah sangatlah menakutkan. Lebih menakutkan dari hantu Indonesia.

Reyhan mengalungkan tangannya dipundak Freya. "Nah, karena mereka udah balik, sekarang kita laporan dulu ke kakak pembina sama guru-guru kalau mereka dalam keadaan seha—"

"UDAH DIBILANG KAKI AUREL KESELEO! BUDEK YA LO? DAN JANGAN PEGANG PEGANG GUE!" Freya melempar kasar tangan Reyhan dipundaknya.

"Tapi masih sehat, Fre. Buktinya gue masih nap—"

"Udahlah, sekarang lo bersihin dulu badan lo dibantu sama Adel. Gue sama Reyhan mau laporan dulu."

Aurel langsung mengangguk, tak berniat membantah karena sadar jika seluruh badannya sangat kotor. Untung saja Bryan mau menggendongnya dalam keadaan gembel seperti ini.

••••

Karena kejadian yang dialami oleh kelompok Aurel kemarin, hari ketiga ini, untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi lagi. Kakak pembina mengumumkan kepada seluruh siswa bahwa hari ini adalah hari terakhir camping. Walaupun sebenarnya nanti malam dihari ketiga ini akan mengadakan jurit malam. Harus ditiadakan, tidak ingin ada kejadian seperti yang dialami Aurel dan Bryan.

Jadi ... dihari ketiga ini, paginya mereka berkumpul ditanah kosong seperti lapangan luas untuk melakukan senam pagi. Setelah senam, semua murid dibebaskan ingin melakukan apa. Asal tidak keluar dari daerah perkemahan.

Selesai senam, Freya dan Adel langsung menuju tenda, menghampiri Aurel yang sendirian di tenda karena kakinya belum sembuh total. Ralat, lebih tepatnya terlalu malas mengikuti senam pagi, tetapi malasnya lebih ke nggak mood. Tapi terurung karena ada Bryan disana. Freya lupa, jika Bryan juga diberi kelonggaran karena tersesat kemarin oleh kakak-kakak pembina.

Maka mereka ketiga memutar balik arah, mencari kegiatan lain yang menyenangkan.

••••

"Bri, lo tau nggak?" ujar Aurel sembari menatap ke arah depan.

Dia dan Bryan sedang berjemur di depan tenda. Aurel bingung mau menyebut ini keberuntungan atau kesialan, ya? Beruntung karena bisa berduaan dengan Bryan dalam waktu lama, atau kesialan karena dirinya tersesat dan jadilah tidak bisa ikut senam bersama teman-temannya?

Bryan tidak menjawab, menunggu Aurel melanjutkan ucapannya saja lebih bagus.

"Saat lo bilang keganggu lagi baca karena gue berisik, sebenernya gue agak sakit hati sampai kepikiran terus, apa lo benci gue yang kaya gitu, ya?"

"Gue terus berpikiran kaya gitu, tapi di kantin. Lo malah curi-curi pandang ke gue, nggak adil tau!" Tiba-tiba nada Aurel meninggi membuat Bryan sedikit terkejut. "Lo emang paling bisa bikin gue kaya dijatuhkan, tapi kemudian lo melayangkan perasaan gue lagi."

"Tapi gue seneng lo yang kaya gitu, itu berati lo udah mulai suk—"

Bryan berdiri, tak membiarkan Aurel mengatakan kata selanjutnya.

"Bri, mau kemana? Lo mau pergi gitu aja pas gue lagi ngomong?"

"Gue mau ke toilet, Rel."

"Jadi lo nggak suka pembicaraan yang kaya gini, ya?"

Sial. Seharusnya dari awal memang Bryan tidak berduaan dengan Aurel. Bukannya Bryan sangat ahli jika menghindari seseorang? Kenapa saat ini sangat sulit?

"Bukan, cuma lo terlalu cepat menyimpulkan sesuatu."

••••

To be continued

Don't Worry, I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang