21. Kakak kelas

9 2 0
                                    

Aurel berjalan menunduk dikoridor. Tangannya mengecek ponsel, seketika raut wajahnya berubah masam. Tidak ada balasan chat dari Bryan.

Ya, Aurel berhasil mendapatkan nomor Bryan beberapa minggu yang lalu. Beberapa minggu yang lalu juga plannya tidak berjalan sesuai rencana. Sekalinya berhasil, hanya 30 menit, itupun hanya duduk diam menikmati sunset, selebihnya Bryan bekerja sesuai jobnya—ngeband.

Impossible rasanya jika Bryan memilih menghabiskan waktu liburannya untuk bersenang senang dibandingkan bekerja demi mendapat cuan. Benar benar pekerja keras tetapi Aurel cemburu dengan hal yang menarik perhatian Bryan, memalingkan Bryan dari paras cantik  Aurel. Salahkah Aurel jika cemburu pada benda mati? Pada job yang Bryan miliki, yang menyita banyak waktu Bryan hingga tidak ada waktu lengah sedikitpun untuk Aurel tempati?

Fast and soon. Aurel harus menjadikan Bryan miliknya. Kali ini Aurel ingin egois sedikit tetapi tidak ingin membuat Bryan merasa tidak nyaman saat bersamanya.

Aurel mengangkat wajahnya, mengamati sekitar, melihat lihat wajah asing baru.

"Huh ...."

Entah yang ke berapa kalinya Aurel menghela napas. Ini hari pertamanya berangkat ke sekolah sebagai murid kelas sebelas. Gugup rasanya, karena rata-rata adik kelas sangat menggoda. Eh.

Tidak tidak, Aurel malah takut Bryan  kesemsem sama adik kelas. Yah, walaupun adik kelas yang lelaki juga sedikit menggoda, mungkin.

"Bryan belum datang, ya?" tanya Aurel sembari menaruh tasnya di sebelah Freya. Aurel tidak mau pisah atau pindah bangku, apalagi duduk dengan murid baru, nggak nggak mau.

"Pake tanya lagi, udah jelas datang dari tadi lah. Anak serajin dan sedisiplin dia mana mungkin berangkat siang," balas Freya setelah menutup buku bacaannya.

Aurel mengangguk setuju, iya juga.

Tapi sampai sekarang Aurel belum melihat batang hidungnya, apa dia menghindarinya lagi?

••••

"Eh... Loh kak Ervin?" tanya Aurel setelah tahu punggung siapa yang Aurel tabrak saat berlarian di koridor gedung IPA.

Untuk apa? Tentu saja mencari Bryan.

Namun naas malah menubruk punggung yang setara dengan tembok, sama-sama keras.

"Aurel? Jangan lari-larian di koridor yah? bahaya."

Aurel malah tersenyum kaku. "Habisnya lagi nyari orang yang—"

"Orang yang?"

"Teman! Dia anak IPA!" ralat Aurel cepat. Entah kenapa Aurel kesusahan menjelaskan kepada Ervin perihal Bryan? Padahal didepan teman-temannya saja Aurel secara terang-terangan menyebut Bryan calon pacarnya. "Eh, tapi kok Kak Ervin disekolah ini? Di gedung IPA lagi? Ngapain? Nemuin temen?"

Aurel ingat benar, Ervin sama sekali bukan salah satu murid di tempatnya bersekolah. Maka, untuk apa lelaki ini kemari?

Ervin tersenyum, tangannya mengacak rambut Aurel. Perlakuan yang Ervin inginkan sedari dulu, semenjak pindah dan menjauh, tidak! lebih tepatnya menghilang dari ruang lingkup Aurel. "Gue pindah."

Rasanya Aurel ingin tertawa saja, pindah katanya?

Tidak salah dengarkah Aurel?

Setelah menghilang selama beberapa tahun, setelah semuanya terjadi begitu saja, setelah apa yang Aurel lewati di masa-masa waktu itu. Dengan mudahnya lelaki ini kembali? Apakah dia ingin masuk ke ruang lingkupnya lagi? Mungkinkah rasa itu masih ada?

Raut wajah Aurel terpaksa tersenyum, tidak enak cemberut di depan orang yang memasang senyuman.

"Bohong, ya, kakak bercanda kan?" tuding Aurel dengan jari telunjuknya. Masih tidak percaya dengan ucapan Ervin barusan. Apalagi kejadian yang menimpanya akhir akhir ini.

Don't Worry, I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang