01. Ingin cerita

11 1 2
                                    

"Ngomong dong," suruh seorang perempuan berambut curly yang kini berjalan disamping seorang lelaki bertubuh tinggi. Bibirnya mengerucut cemberut karena sosok disampingnya tak kunjung menanggapi ocehannya. Dia, Aurellie Magdalena.

Lelaki disampingnya menghela napas lelah, telinganya pengang sudah karena gadis disampingnya terus mengoceh.

"Diem." Hanya satu kata yang keluar dari bibir lelaki itu membuat Aurel mencak-mencak, kesal dibuatnya.

"Bri, kenapa langit warnanya biru? Kenapa nggak pink? Merah atau hijau aja sih?" tanyanya random. Lelaki itu tetap berjalan, bibirnya terkunci tak menggubris.

Keduanya sedang berjalan bersama dari parkiran menuju kelasnya masing-masing. Karena sekolah yang sangat amat luas, memberikan jarak yang sangat jauh dari parkiran ke kelas. Membuat nafas letih lelaki itu kembali terhela.

Bryan Adikusuma. Pria yang memiliki tampang manis serta otak cerdas, tetapi sayang hampir dibenci oleh laki-laki maupun perempuan disekolahnya.

"Kan kalau pink bagus gitu ya, aesthetic." Kembali, Aurel kembali mengoceh dengan ucapannya yang unfaedah bagi Bryan.

"Kenapa juga daun warnanya hijau? Kaya ta- aduh."

Aurel memekik saat dahinya terbentur dengan punggung tegap Bryan yang mendadak berhenti berjalan.

"Kok berhenti, Bri?"

"Gue udah sampe kelas gue, lo mau ikut masuk?"

"Boleh tuh," ucap Aurel bersemangat tetapi Bryan malah menyentil pelan dahinya.

"Pergi, ke kelas lo." Bryan membalik tubuh Aurel, mendorongnya pelan.

"Ih! Nggak usah dorong-dorong, gue bisa sendiri!"

Bryan mengangkat kedua bahunya tak peduli, lalu masuk begitu saja ke kelasnya.

"Nggak ada manis-manisnya cowok gue," gerutu Aurel sambil menggeleng nggelengkan kepalanya, tapi kakinya berjalan menjauhi kelas Bryan. "Eh soon, soalnya sekarang kan masih pdkt."

•••

Kini Aurel duduk dikursinya, menunggu sang sahabat yang tak kunjung datang memunculkan batang hidungnya. Padahal hari sudah siang.

Aurel memilih mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi apapun yang bisa mengusir rasa bosannya.

Tak berselang lama Freya datang, langsung duduk disamping Aurel.

"FREEEEE!" Aurel berteriak sambil memeluk Freya, gadis itu hampir terhuyung karena pelukan Aurel yang tiba-tiba.

"Pengap woy! Lepas nggak?!"

Bibir Aurel mengerucut. "Gue mau cerita!"

Bukan Aurel namanya jika tidak berbicara sambil berteriak. Reaksi teman sekelasnya? Biasa saja, karena sudah jadi kebiasaan Aurel yang suka berteriak-teriak tidak jelas.

"Ya tinggal cerita aja sih, ribet lo," komentar Freya sembari memindahkan tasnya yang tadinya dipunggung menjadi di atas meja.

"Adel mana? Kok belum datang sih?" Aurel bertanya sambil celingukan mencari sosok Adel yang mungkin masih bersembunyi dibalik dinding kelas. Dirasa tidak ada, Aurel menghela nafasnya. "Gue mau cerita kalau Adel udah ada disini."

"Ya udah sana cerita sama Adel aja!"

"Anjir, nggak gitu Fre! Gue mau cerita sama kalian." kata Aurel membenarkan pikiran Freya yang mungkin berpikir dirinya hanya ingin bercerita dengan Adel saja. "Telpon dong si Adel! lama banget, heran."

"Kan lo tau kalau dia suka ngaret, istirahat dulu aja kalau gitu ceritanya." Komentar Freya ada benarnya sih, tetapi Aurel tetaplah Aurel, maunya sekarang ya sekarang, kalo besok keburu basi.

"Nggak mau, mau sekarang," rengek Aurel. Freya yang lelah menghadapi Aurel hanya menghela napas dan mulai memainkan ponselnya. Memencet satu kontak, setelah tersambung langsung berteriak.

"WOY, BURUAN NGGAK LO KE SINI?!"

Teriakan Freya membuat Aurel mendongak menatap lekat wajah Freya yang sedang menelpon, sudah dipastikan orang diseberang pasti Adel.

"TEMEN LO RUDET NIH, CEPET NAPA?!" teriakan terakhir Freya karena detik selanjutnya Freya memutuskan sambungan telepon.

Tak berselang lama Adel datang dengan napas yang terengah-engah dengan rambut acak acakan karena harus naik gojek demi bisa datang cepat kesekolah kemudian gadis itu mendekati tempat duduk Aurel dan Freya.

"Nggak ngotak sumpah, gue lari-lari dari parkiran anjir! Tau nggak reaksi orang-orang di koridor?" tanya Adel menggebu. Rasanya ingin menghujat Aurel disaat rasa letihnya saat ini.

Aurel dan Freya menggeleng bersamaan. Tanda tidak tahu apa respon mereka terhadap Adel yang berlarian seperti dikejar anjing. Eh, lebih tepatnya mengejar waktu sih.

"Ada yang bilang gue kebelet ke wc, anjir! Dahlah, males gue sama kalian." Adel mencebikkan bibirnya.

Freya menyenggol lengan Aurel."Nih temen lo, mau cerita katanya tadi."

Aurel terkekeh menampilkan gigi rapinya disertai lesung pipi. Tangannya merogoh tas kemudian menyodorkan sebotol air mineral dihadapan Adel.

"Dari tadi kek, Aurel!" pekik Adel lalu menyahut botol itu dan menegaknya hingga tinggal setengah. Sangking hausnya, efek sesudah berlari.

Napas Adel sudah kembali normal setelah selesai minum. Botol itu diletakkan di atas meja bersamaan dengan bokongnya yang mendarat di meja. Iya, Adel duduk dimeja Aurel. Memang tidak sopan, tapi itulah Adel. Katanya, selagi guru belum datang, murid bebas mau ngelakuin apa aja.

Aurel tersenyum, memulai ceritanya dengan bersemangat. "Tadi kan gue sengaja berangkat pagi-pagi biar ketemu Bryan, eh beneran ketemu! Terus kita jalan dari parkiran ke kelas dia," kata Aurel, wajahnya mesam-mesem khas orang kasmaran.

"Jadi ceritanya lo nganterin Bryan ke kelasnya?" tanya Freya yang diangguki oleh Aurel.

Seketika Aurel gugup. "I-iya, emang kenapa?"

"Ya nggak papa, tapi kebalik Rel, anjir!" Komen Freya tak setuju dengan tindakan Aurel.

"Kan gue yang lagi berjuang, jadi ya nggak papa," balas Aurel santai seakan tidak ada beban.

"Ya, terserah, lanjut."

"Terus pas sampe depan kelas dia, dahi gue disentil, astaga! Gemes banget nggak sih?" Aurel meremas botol minumnya sangking gemasnya.

"Kok gemes? Goblok yang ada," cibir Freya. Bibir Aurel menekuk.

"Lo nggak tau aja kalau itu pencapaian pertama buat jadi pacar Bryan, tau!"

"Pencapaian pertama? Plis deh, lo ngejar dia udah dari semester satu, sekarang udah semester dua, masih pencapaian pertama? Hebat," jelas Adel kemudian terkekeh sambil bertepuk tangan.

Aurel merengut mendengar balasan Adel. "Susah dideketin dia tuh, padahal kan banyak yang ngantri buat jadi pacar gue."

"Ya udah sama mereka yang ngantri aja, nggak usah menyusahkan diri sendiri. Gitu aja dibikin ribet, lo." Freya kembali menyahut. Terkesan nyolot sih, tapi memang begitu sifat Freya.

"Kalau gitu ini cerita nggak bakalan ada! Dan sejarahnya gue ngejar Bryan pun nggak akan pernah terjadi ataupun ada!"

"Denger, Fre. Kan prinsip si Aurel tertarik sama orang yang nggak tertarik sama dia. Nggak heran sih, padahal banyak yang lebih dari si Bryan."

"Aw, Adel pinter!" Aurel memeluk Adel senang karena membelanya tindakannya dibanding Freya yang cuek bebek.

"Iya dong gue gituloh." Adel membanggakan dirinya sendiri. Teringat akan rambutnya Adel melepas pelukan Aurel. "Gue pinjem sisir, rambut gue udah berasa kaya sarang burung."

Aurel meminjamkan sisirnya. Adel langsung menyahutnya, mengeluarkan cermin dan mulai menyisir rambut.

Melihat bentuk rambut Adel, Aurel dan Freya tertawa. Mungkin inilah yang dinamakan tertawa diatas penderitaan teman.

••••

To be continued.

Don't Worry, I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang