27. Sakit

7 1 0
                                    

Wajahnya terlihat murung setelah tahu bahwa Bryan tidak masuk kerja hari ini, tumben sekali. Padahal apa yang ia dengar dari Reyhan, Bryan sangat rajin. Apalagi pergi bekerja dan sekolah, tidak pernah absen jika tidak ada yang mendesak.

"Udah lah Rel, mungkin dia ada urusan yang lebih penting, pergi aja deh yuk," ajak Freya tak tega, turut sedih melihat raut wajah Aurel. Malam ini hanya Freya yang menemani Aurel karena Adel memiliki urusannya sendiri yang tidak bisa ditinggal.

"Makan dulu, Fre. Pudding Mango di sini enak banget tau, lo harus coba!" seru Aurel menolak ajakan Freya. Sedikit tidak bergairah karena semangat makannya hilang sudah dibawa Bryan yang tidak masuk kerja.

Freya hanya merespon mengangguk, asalkan dia tidak menangis guling-guling dilantai. Perlu diketahui, jika makanan manis bisa menaikkan mood Aurel sekalipun nafsu makannya menghilang dan perlu diingat jika makanan manis kesukaannya adalah pudding mango.

••••

"Rel, lo udah chat Bryan, kan?"

Aurel menghela nafas panjang. "Nggak perlu ditanya, Del. Dari dulu gue selalu chat dia, tapi belum pernah ada balasan satu pun."

Aurel menyodorkan ponselnya lalu membuka aplikasi WhatsApp yang menampilkan chattingan antara dirinya dan Bryan pada Adel. Namun, disitu terlihat hanya Aurel saja yang mengiriminya pesan.

"Nggak aktif kali nomornya, itu centang satu terus." Freya bersuara setelah melongok isi room chat Bryan.

Dengan cepat Aurel menyahut ponselnya dan menatapnya intens. Tangan Aurel men-scroll isi room chatnya bersama orang yang kontaknya dia namai 'my future, Bryan.' Benar saja, kenapa dia baru sadar bahwa pesan yang selama ini ia kirim, selalu centang satu? "Iya, juga, sih. Tapi beneran deh, Fre, Del. Waktu pertama kali centang dua kok, masa iya udah nggak aktif."

"Mungkin lo di block kali, Rel." celetuk Adel ringan tanpa disaring, asal ngomong.

"YANG BENER AJA!" pekik Aurel setengah teriak. Mencoba menelepon di panggilan biasa tapi ... "nyambung, nih."

"Kan yang di block WhatsApp nya, ya iya lah masih bisa nyambung kalo nelpon bukan di WhyApp," gumam Adel pelan. Yang bisa denger cuma Freya, hampir Freya tertawa jika tak melihat wajah kesal Aurel yang kayak orang nggak dikabarin pacarnya.

"Nggak diangkat mulu, kesel deh gue." Aurel melempar ponselnya ke kasur, memperlihatkan jika nomor Bryan sedang berdering.

Tak mau sampai Aurel menangis. Freya unjuk suara. "Samperin aja, biasanya gitu, kan?"

Bahu Aurel melorot. "Yaudah besok gue samperin deh." Tapi bayangan muncul, bayangan dimana alasan dia menjauhi Bryan hingga detik ini perihal malu nangis dihadapannya, Aurel langsung menggeleng kuat. "Nggak ah, nggak mau gue."

"Lah kenapa?" tanya Adel heran. "Udah deh samperin aja, daripada lo uring-uringan gini terus."

"Nggak! Pokoknya nggak mau!"

Keduanya terdiam ketika bentakan Aurel yang menolak tawaran Freya kemudian saling berpandangan mencari alasan mengapa keduanya menolak. Setelah menemukannya, keduanya tertawa terbahak bahak.

"Diem! Tawa kalian kaya setan tau."

"Nyeremin? Ka—"

"Nggak! Nyebelin yang ada!"

Kompak keduanya berkata, "anjir."

"Udahlah, Rel. Samperin aja napa sih? Turunin deh gengsi lo. Lagian Bryan udah lupa kali."

Aurel terdiam. Apa yang dikata Adel ada benarnya sih. Mungkin Bryan memang tipe orang yang akan melupakan hal remeh, hal yang terjadi waktu belajar bersama pun, menurutnya memang bukan hal yang besar. Tapi, Aurel merasa sangat jatuh, karena hal sepele dia malah menangis. "Jadi gue harus jual gengsi gue dengan murah gitu?"

"Maksudnya?" Freya tak paham.

"Kata Adel turunin gengsi. Jadi gue harus jual murah gengsi gue gitu dengan pembelian waktu buat nemuin Bryan, gitu? No way! Jangan harap. Rasa malu gue kala itu masih membekas yaw."

Freya mengurut dahinya pusing. "Gini amat punya temen," batinnya.

"Temuin temennya kan bisa tanpa harus langsung ke Bryan," usul Adel sembari memoleskan masker wajah yang ia comot sembarangan dari laci meja rias milik Aurel.

"Nah, gitu aja enak, tumben lo pinter, del. ADELL!" teriak Aurel kesal. "Itu masker baru gue beli. Lo nggak tahu perjuangan gue buat dapetin tuh masker, hah?!"

"Yaelah, Rel pelit amat. Besok beli lagi kenapa sih," sahut Adel tak peduli. Masih asik meratakan masker ke wajahnya.

"Lo kira ready stok?! Itu udah yang terakhir. Udah nggak ada lagi di mall. Ih Adel mah, nggak mau tau pokoknya ganti, titik!"

"Ya ntar gue ganti kalo udah keluar lagi produknya."

"Ih lama," rajuk Aurel. Benar benar seperti anak kecil.

"Ya gimana, kata lo udah abis. Ya musti nunggu lah kalo mau masker ini lagi." Adel menjinjing plastik masker yang sudah tak berisi.

Cklek ....

"Freya mau kemana?"

"Beli capuccino coffe." Mata Aurel berbinar membuat Freya langsung berucap sebelum Aurel sempat membuka mulutnya. "Nggak usah ikut, lo lanjut debat masker aja sama Adel."

"Nggak mau, pokonya ikut!" Aurel berlari menyusul langkah Freya yang sudah jauh di depan Aurel.

"Lah gue ditinggal, anjim kalian," umpat Adel, matanya menatap nanar cermin sedang tangannya sibuk memainkan ponsel. "Mana masker masih basah lagi."

•••

Saat istirahat menjelang bel masuk 3 mata pelajaran terakhir, Aurel berlari menuju gedung IPA. Namun, sang Dewi keberuntungan nampaknya ada di pihak Aurel.

Reyhan dengan sendirinya datang ke gedung IPS, Aurel berteriak dalam hati kegirangan ibarat pepatah "pucuk dicinta ulampun tiba"

"Yo, Neng Aurel, long time no see."

"Aduh, Reyhan lo hari ini ganteng, deh."

Reyhan mengulum senyumnya, menatap Aurel malu-malu. "Ah bisa aja deh lo...." Namun langsung tersadar, baiknya Aurel pasti ada sesuatu. Rautnya langsung serius. "Mau apa lo?"

"Ih kok tiba-tiba galak, sih?"

"Nanyain Bryan?"

"Ya iya, siapa lagi?"

Aurel tersenyum ramah kepada Reyhan, namun dibalas delikan oleh lelaki itu.

"Dia lagi sakit."

Matanya membulat, wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat terkejut juga heran. "BRYAN BISA SAKIT JUGA?!"

Reyhan menyentil dahi Aurel. "Dia juga manusia, Neng. Ya masih bisa sakit lah."

"Jangan sentil-sentil dahi gue! Dahi gue udah jadi hak miliknya Bryan!" Aurel mengusap-usap dahinya, ada rasa sakit sedikit. Tapi, lebih banyak rasa kesal, karena sentilan itu mengingatkan Aurel pada Bryan. Ah, jadi makin rindu, kan.

"Apaan, masa dahi doang? Orangnya nggak? Yhaaa!" balas Reyhan seraya terbahak, tangannya memegang perut, sakit akibat tertawa.

Aurel malah menatap Reyhan datar. "Ada yang lucu, ya?"

"Hehe, hubungan lo sama Bryan lucu, sih."

"Jangan ngeledek!"

Reyhan meringis, tangannya jadi samsak tinju Aurel. "Aduh, udah dong! Gue ini lagi lemah letih lesu lunglai letoy, jangan dipukul terus."

Tangannya langsung berhenti. "Eh, lo sakit juga? Terus kenapa sekolah? Istirahat gih."

Reyhan menggeleng. "Belum disemangatin sama ayang."

••••

to be continued

Don't Worry, I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang