CHAPTER 3: Tamu Tengah Malam

59 17 8
                                    

"Lo kok ga kayak biasanya, Phe? Malam ini perasaan diem banget lo," celetuk Shella. Dia melirik Ophe sekilas dari balik kaca spionnya sebelum kembali berkonsentrasi ke kemudinya.

"Lagi nggak mood aja, Shel," jawab Ophe. Shella, yang memang lebih tua darinya dan Katja, awalnya memang Ophe panggil 'Mbak'. Namun lama-lama, dia tidak lagi merasa perlu disebut seperti itu. Rasanya kayak tua banget, katanya.

"Lho kok? Emang si Kael nggak asyik ya?"

"Wih, asyik banget, justru!" malah Katja yang menimpali. Matanya tidak lepas dari layar ponselnya. "Lo tunggu aja, nanti ga lama lagi Kael bakal chattingan sama si Ophe."

Ophe mencibir. Selama di kafe tadi dia dan Kael tidak mengobrol lebih dari dua patah kata. Boro-boro dia niat mau chattingan sama makhluk aneh itu.

"Syukur deh. By the way, thanks ya Kat, lo udah ngenalin gue sama Randy! Anaknya asyik banget. Ganteng lagi!"

"Lo nggak apa-apa kan dia lebih muda dari lo?"

"Alah, age is just a number," celetuk Shella. Khusus untuk kasus Shella, Ophe seratus persen setuju bahwa umur cuma angka. Shella yang seorang dokter umum di salah satu rumah sakit swasta ternama selalu terlihat anggun dan profesional. Pakaian-pakaiannya selalu modis, sepatunya selalu mahal, dan riasannya selalu elegan dan tidak murahan. Tapi begitu benar-benar kenal dia, ketahuan bahwa jiwanya adalah seorang remaja K-Pop fangirl garis keras. Bahkan setahu Ophe, sebagian besar dari gaji Shella sebagai dokter dia habiskan demi memorabilia para personil boyband kesukaannya.

"Gue udah janjian sama Randy mau jalan minggu depan, lho!" Shella mengumumkan dengan ceria.

"Ciyeee, selamat ya, moga jadi beneran deh!" komentar Katja, tapi matanya masih lengket ke layar ponselnya dan jari jemarinya masih sibuk mengetik. Ophe diam-diam mengintip.

Nama Wisnu terpampang di sana.

Ophe mengerang dalam hati. Malam ini sudah pasti dia bakal datang ke apartemen. Dan Ophe harus belagak tidak tahu esok harinya.

Mencoba mencari bahan pembicaraan agar pikirannya tidak tersita oleh kegembelan Kael dan kedatangan Wisnu yang tidak bisa dicegah, Ophe iseng bertanya, "Ngomong-ngomong, Shel. Kemaren gue denger di berita katanya deket rumah sakitnya Kashel ada pembunuhan ya? Itu gimana sih ceritanya?"

Ekspresi Shella berubah muram. "Iya nih, ngeri deh. Gue dulu kenal lho sama korbannya."'

"Seriusan?"

"Ya nggak kenal banget sih, tapi gue tahu dia yang mana. Dulu cewek itu pernah kerja di bagian administrasi rumah sakit tempat gue kerja. Dia kalo nggak salah resign sebulan atau dua bulan lalu gitu, tapi rumahnya emang sekitaran situ. Eh, taunya tiba-tiba mayatnya ditemuin di tumpukan sampah belakang rumah sakit. Lehernya kayak yang dicekek gitu, dan kepalanya abis dibentur-benturin ke tembok sampai dahinya pecah."

"Ngeri amat," Ophe bergidik.

Shella terdiam sesaat, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Ini gue kasih tau sesuatu tapi jangan bilang siapa-siapa, ya. Kata temen gue di kepolisian, ini sebenernya kasus pembunuhan ketiga di bulan ini. Modus operandinya sama persis. Dan korbannya juga ciri-cirinya juga nyaris identik. Tinggi badannya, umurnya, dan gaya rambutnya rata-rata sama. Dan kejadian dua kasus itu deket sama kantor walikota. Deket banget malah. Berhubung bentar lagi mau pemilihan walikota baru, biar masyarakat nggak panik dan jadi chaos, kasus pertama sama kedua ditutupin sama polisi. Baru yang ketiga ini aja yang ketahuan media."

Sekujur tubuh Ophe merinding.

"Modus operandinya sama? Jadi ini pembunuhan berantai, gitu? Beneran ada pembunuhan berantai di kota kita?"

"Kemungkinan besar iya. Makanya gue anterin kalian berdua pulang malem-malem gini. Gue takut kalian kenapa-napa."

"Palingan kalo si pembunuhnya deket-deket kita sama si Ophe juga dijadiin cacat seumur idup," celetuk Katja dari balik ponselnya. "Lo udah pernah liat nggak si Ophe banting orang kayak gimana? Sadis gila. Udah kayak Hulk."

Shella tertawa singkat. "Gue ga ragu sih sama kekuatan Ophe. Tapi ya, kan jaga-jaga aja."

Seisi mobil terdiam selama beberapa waktu, sementara hentakan lagu Korea yang Ophe tidak tahu siapa yang menyanyikan terus mengalun dari speaker mobil, diiringi oleh senandung Shella yang jelas hapal seluruh liriknya di luar kepala.

"Hore, nyampe," ujar Ophe datar ketika Shella berbelok masuk ke parkiran apartemennya. Dia sudah tidah sabar untuk kembali ke pelukan kasurnya dan belaian ular-ularnya.

"Makasih ya Shel udah mau repot-repot nganterin," Katja melambai. "Hati-hati di jalan, lho."

"No problem. Makasih juga ya, udah ngenalin sama Randy. Sweet dreams!" Shella balas melambai dengan cengiran bahagia yang lebarnya membuat Ophe setengah iri.

Ophe buru-buru naik dan masuk ke kamarnya tanpa berbicara dengan Katja lagi. Sambil menghapus riasannya di cermin, Ophe menyadari bahwa dia agak iri dengan kebahagiaan Shella. Seandainya malam ini berjalan lancar sama Kael, mungkin dia juga akan tertidur lelap dengan senyum di wajahnya.

Lho, bukannya tadinya dia niatnya cuma iseng aja? Kenapa sekarang dia malah merasa sebal?

Setelah memastikan ketiga ularnya sudah melingkar dengan aman di sangkar kacanya masing-masing, Ophe merebahkan diri dan berusaha memejamkan matanya. Namun, dia tidak kunjung bisa terlelap.

Alih-alih rileks, benaknya malah dihantui bayangan sebuah sosok bersuara lembut. Suara itu datang dengan bujukan yang hanya berupa bisikan di telinga Ophe, dengan nafas yang seolah berbaur dengan nafasnya sendiri. Kemudian, sebuah tangan yang halus memegang bahu dan tengkuknya. Ophe tahu dia seharusnya menolak sentuhan-sentuhan itu, tapi entah mengapa tubuhnya malah mengizinkan tangan itu untuk bergerak sesukanya, membuai, meraba-raba ...

Kelelahan akhirnya menarik Ophe untuk tidur, meskipun mimpinya dipenuhi keresahan yang dibawanya sejak dia terjaga. Dia bahkan tidak menyadari suara-suara teredam yang datang dari luar kamarnya saat teman seapartemennya menyambut tamu tengah malamnya yang biasa.

Bagi Katja dan Wisnu, "cuma sekali ini aja kok" memang cuma alasan belaka.

Girls Like You (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang