CW: Trauma attack triggered by physical touch. But other than that, this is the chapter that I was so excited to write, because... well, you'll see.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Bocah-bocah tadi abis divaksin di dokter deket sini. Ya udah, sekalian aja gue ajak ke sini ketemu lo. Kebetulan di sebelah sekolah ada tanah kosong gini biar mereka bisa olahraga. Kasian dikurung di kosan gue terus."
Itu alasan yang dipakai Kael saat Ophe hendak melabraknya karena mengganggu kelasnya tadi, membuat Ophe membatalkan niatnya untuk marah-marah.
Ophe juga tidak tahu mengapa dia masih saja memberikan kesempatan pada cowok ini, setelah semua yang telah dia lakukan--atau lebih tepatnya, tidak lakukan. Apa memang Ophe se-desperate itu akan perhatian dari lawan jenis? Bukannya selama ini dia benar-benar tidak membutuhkannya? Dia baik-baik aja kan tanpa itu selama ini?
Namun kenapa apapun yang dilakukan Kael benar-benar bisa membuat dia terkesan, bahkan setelah makhluk itu berkali-kali bikin dia kesel dan kecewa?
Pertanyaan itu Ophe berulang kali ajukan untuk dirinya sendiri saat, sepulangnya mengajar di siang itu, dia duduk di sebelah Kael. Bersama, mereka menyaksikan delapan ekor anjingnya berlarian dan berguling di sepanjang tanah kosong sebelah sekolah. Boba rasa salted caramel di tangannya yang tadi dibawakan Kael untuknya sudah hampir habis, dan kekesalannya semakin menguap di setiap sedotan. Emang pada dasarnya dia lemah kalau disogok makanan manis. Apalagi makanan manis yang seenak ini.
Kael jelas-jelas sudah menyadari itu.
"Tapi jangan ngira kalo tiap lo bikin gue kesel lo bisa sogok gue pake es krim atau boba, ya!" celetuk Ophe.
"Oke, lain kali gue bawain yang lain. Cupcake aja, gimana?" Kael memamerkan senyum khasnya yang, sayangnya, jarang muncul. Ophe mengalihkan pandangannya. Setengah karena dia nggak mau jadi deg-degan, setengah lagi karena cupcake adalah makanan kesukaannya di seluruh dunia tapi dia nggak mau Kael sampai tahu itu.
"Phe, tapi serius nih, gue minta maaf banget ya soal kemaren. Gue ditelepon karena ada emergency lagi di shelter, soalnya."
"Oh," Ophe berusaha tidak acuh. "Lo ditelepon sama cewek yang namanya Nggi-Nggi itu ya?"
"Si Anggika maksud lo? Iya, dia nelepon. Kenapa emangnya?"
"Kayaknya dia suka sama lo, deh."
"Iya sih ya, kayaknya gitu."
"Dih! Geer gila."
"Lho, kan lo yang bilang duluan tadi?"
"Ya kan harusnya lo jangan nyadar kayak gitu, lah."
"Emang kerasa, kok."
"Terus?"
"Terus apa?"
"Terus lo suka juga ga sama dia?"
"Ya kalo gue suka sama si Anggika, dia yang bakal ada di sini sekarang nemenin gue sama anjing-anjing gue. Bukan elo."
Muka Ophe spontan memerah. Tepat di saat itu, GioGio, anjing Kael yang paling berisik, berlari ke arah Ophe, membawa setangkai ranting pohon di antara giginya dan menaruhnya di hadapan Ophe.
"Dia pengen main sama lo tuh," ujar Kael. "Gih sana."
Ophe belum pernah bermain dengan anjing sebelumnya. Dengan kikuk, dia memungut ranting itu dan menoleh ke Kael.
"Terus ini gue apain? Lempar gitu?"
"Iya, lempar, Phe. Yang jauh. Nanti dia bakal kejar, tangkep pake giginya, terus balikin ke elo lagi. Gitu doang, kok. Lo ga pernah liat orang main catch sama anjingnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romansa[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...