CHAPTER 9: Ketoprak Candid

31 10 3
                                    


Lucunya, semakin kita berusaha tidak memikirkan sesuatu, semakin otak kita tidak bisa berhenti memikirkannya.

Memang kenapa kalau Kael masih belum mengontak Ophe, walaupun sudah lima hari berlalu? Bukannya Ophe mengharap dihubungi dia, ya. Dia bukan tipe cewek kayak gitu. Ngebucin buat cowok? Apalagi yang macam Kael? Nggak sudi.

Setidaknya, itu yang Ophe katakan kepada dirinya sendiri. Berulang-ulang.

Gue ga nunggu di-WA dia kok!

Berulang-ulang.

Di Sabtu pagi itu, Ophe terbangun dari tidur yang lagi-lagi dibayangi kenangan yang menyamar sebagai mimpi. Sosok yang ingin dia hapuskan selamanya dari ingatannya. Malam yang hingga kini dia sesali hingga ke sumsum tulangnya.

Malam ketika dia menyerahkan segalanya.

Setelah mengucek-ngucek matanya, mencoba mengusir sisa mimpi buruknya, Ophe bangkit dari tempat tidurnya. Ponsel adalah hal pertama yang dia raih dan periksa.

Tentu saja masih belum ada pesan apa-apa dari Kael.

Ophe sebenarnya bisa saja menghubungi Kael duluan, seandainya dia tahu nomornya Kael. Waktu itu dia memberikan nomornya dengan anggapan Kael akan mengambil inisiatif mengontaknya.

Menanyakan nomor Kael ke Katja? Nope, not an option. Bukan pilihan. Katja mungkin nggak punya nomor Kael, yang berarti dia harus bertanya ke Wisnu, yang berarti semuanya akan menjadi rebek buat Ophe.

Seraya menggerutu, Ophe beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka dan memulai harinya.

Lima belas menit kemudian, dia membawa sarapannya, mie goreng instan dengan tambahan kecap manis, ke ruang tamu. Katja sudah pergi dari pagi sekali, katanya mau jogging lanjut nyalon dan shopping dengan teman-teman kantornya. Sambil meniupi mie-nya, Ophe menyalakan televisi.

Lagi-lagi berita tentang pembunuhan berantai yang kemarin. Polisi disebutkan tengah meluncurkan investigasi terhadap pelakunya, yang dicurigai sebagai seorang laki-laki yang hanya mengincar perempuan. Wajah korban terbaru ditayangkan kembali di layar, membuat Ophe bergidik. Penampilan gadis itu benar-benar mirip dirinya. Hanya wajahnya yang berbeda.

Ophe menekan-nekan tombol di remote televisi, asal memindahkan saluran tanpa benar-benar memperhatikan apa yang dia tonton. Benaknya masih terusik oleh mimpinya. Seolah, masa lalunya kini tengah memaksa untuk jadi bagian kesehariannya yang sekarang. Dia masih saja mengecek ponselnya, belagak acuh tak acuh. Tidak ada perubahan.

Ophe menyibukkan diri dengan membuka media sosial dan mengirim pesan WhatsApp ke beberapa orang. Jemarinya sempat melayang di atas nama 'Ayah', sementara benaknya menimbang-nimbang.

Perlukah dia sapa ayahnya?

Sudah lewat satu bulan lebih sejak mereka terakhir bertemu. Dia memang tidak pernah merasa benar-benar bisa dekat dengan ayahnya. Semua perbicangan mereka terasa asing. Seperti tidak ada ikatan darah di antara mereka. Apalagi setelah ayahnya menikah lagi. Ophe merasa, keluarga baru ayahnya itu-lah yang benar-benar keluarga Ayah. Sedangkan dia justru yang cuma orang luar.

Ophe melirik jam di ponselnya. Sudah hampir pukul sebelas. Perutnya memang belum seberapa lapar, tapi lidahnya mulai menuntut diberikan sesuatu yang manis dan dingin.

Tempat es pisang ijo favoritnya hanya berjarak seratus meter saja dari apartemennya. Ketimbang membayar ongkir ekstra untuk memesan via ojol, Ophe memutuskan untuk berjalan kaki ke sana saja. Sekalian cari udara.

Tumben amat jalanan lagi sepi gini, pikir Ophe saat melangkah keluar dari lobi. Sama tumbennya, cuaca sedang amat bersahabat. Cerah, tapi tidak terlalu panas. Dia mengambil jalan pintas di gang belakang gedung apartemennya, melewati beberapa rumah penduduk. Biasanya jam segini selalu ada yang nongkrong, atau setidaknya lewat di jalan itu. Tapi entah mengapa hari ini terlihat sedang sepi sekali. Bahkan seekor kucing liar pun tidak tampak.

Apakah ada bencana zombie berlangsung ketika dia sedang tidur? Ophe berpikir sembari menyusuri gang. Namun kemudian, dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Hatinya menjadi agak lega. Berarti dia tidak sendirian.

Tapi ketika dia menoleh ke belakang, tidak terlihat batang hidung manusia sepotong pun.

Ophe kembali berjalan, melewati sebuah tanah kosong yang dipakai sebagai tempat penampungan sampah. Langkah kaki itu terdengar lagi, kali ini seperti lebih dekat dari sebelumnya. Kepala Ophe kembali meliuk ke belakang, ke kiri dan ke kanan, tapi tetap tidak ada siapa-siapa yang terlihat.

Sementara itu, langkah kaki itu terdengar semakin mendekat.

Menghampirinya.

Meskipun sedang terang benderang, bulu kuduk Ophe tetap meremang. Apalagi ketika dia teringat bahwa korban kasus yang sekarang santer ini semuanya punya kesamaan fisik dengan dirinya.

Dia memang tidak masalah jika harus menghadapi orang asing yang ingin menyakitinya, tapi itu jika dia benar-benar terpaksa. Dia lebih baik menghindari perkelahian sebisa mungkin.

Ophe mempercepat langkahnya, nyaris setengah berlari. Dia berganti haluan, dan berbelok di sudut menuju taman kecil dekat sana, yang pastinya akan ramai pukul segini.

Untunglah, firsatnya benar. Dia menarik napas lega. Dia aman sekarang.

Jantungnya masih belum melambat ketika dia buru-buru menghampiri seorang penjaja ketoprak dan memesan satu porsi. Ophe merasa konyol sendiri karena bisa separno itu di siang sebolong ini, apalagi ketika dia baru ingat dia sebenarnya tidak terlalu suka ketoprak.

"Lho, kebetulan banget kita ketemu di sini."

Ophe nyaris terlonjak di tempat. Dia menoleh untuk mengetahui siapa yang baru saja bicara.

Dan menemukan sosok familiar ber-hoodie dan berambut anti-sisir yang terlanjur dia kenali beberapa minggu ini.

"Gue lagi beli 'toprak," celetuk Ophe, dan langsung bingung sendiri kenapa dia berkata itu. Di hadapannya Kael terkekeh singkat.

"Iya, gue liat kok. Lo apa kabar, Phe?"

Setelah lima hari lo nggak ngontak gue sama sekali dan ujug-ujug nongol depan gue kayak setan?

"Oh kabar gue baik. Baik banget, malah." Ophe berusaha terdengar sinis. Tapi dengan sebelah tangan memegangi sepiring ketoprak dengan kerupuk segunung, efek yang dia inginkan sepertinya nggak kesampaian.

Sudut mulut Kael terangkat. "Bagus deh.Sebenernya pas banget kita nggak sengaja ketemu. Si Wisnu emang pernah bilang lo sama Katja tinggal deket sini, sih ..."

Tangannya terangkat untuk menggaruk belakang kepalanya. Ophe mulai paham bahwa ini kelakuan Kael tiap dia gugup. Rasa penasaran Ophe bangkit.

"Emang kenapa gitu?"

"Jadi ... Gue tuh sebenernya udah lama niat mau ngehubungin elo, tapi HP gue ..."

Dia merogoh saku hoodie-nya dan mengeluarkan sebuah benda dari sana.

"Abis lo balik, gue charge HP gue di lantai seperti biasa. Nggak taunya salah satu anjing gue—uhm, si Dio—nggak tau kenapa tiba-tiba lupa cara kencing di tempat yang seharusnya, dan—"

Di tangan Kael, ponselnya yang persis sama dengan Ophe itu terlihat gelap dan mati.

"Yah, jadinya HP gue rusak. Gue masih belum punya duit buat beli yang baru. Ini gue simpen aja buat kenang-kenangan."

Ophe memandang benda itu dan berkedip.

"Maksud lo, lo ga ngontak gue karena HP lo dipipisin anjing lo?"

Muka Kael sedikit memerah. "Ya ... gitu deh."

Ophe merapatkan mulutnya, berusaha menahan apa yang memaksa keluar dari sana. Tapi, gagal. Dia terpingkal-pingkal, gelak tawanya membuat seisi taman menatapnya dengan pandangan aneh.

"So-o-ori," ujarnya di sela-sela helaan napas di antara tawa. "Gue cuman ..."

Selagi tawanya mereda, Ophe memandangi sosok cowok yang masih berdiri di depannya itu. Sebuah perasaan yang dia tidak kenal mulai menjalari batinnya. Sesuatu yang hangat. Sesuatu yang ... entah apa. Pokoknya, sesuatu.

"Lo mau ngobrol bareng di sana?" mulutnya bertanya tanpa sempat dia cegah, sementara jarinya menunjuk sebuah bangku tidak jauh dari mereka.

Kael mengangguk. "Yuk."

Girls Like You (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang