CHAPTER 19: Freak

39 13 2
                                    


Gue boleh foto lo kapan-kapan, ya?

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Ophe.

Candid photos are the best photos. Itu yang waktu itu dikatakan Kael. Ophe teringat Guilty Gallery... dan bagaimana semua isinya menampilkan orang-orang yang difoto tanpa sepengetahuan, dan pastinya, tanpa persetujuan mereka.

Tau nggak mereka nemuin apa? Ternyata di tembok kamarnya itu penuh sama foto-foto si Nadhira. Sekarang giliran suara Stef yang bergaung di benak Ophe.

Nadhira. Semalam, Ophe sudah berusaha mencari tahu lebih banyak lagi tentang gadis itu. Dia menyesal karena sama sekali tidak ingat menanyakan nomor ponsel Stef agar bisa bertanya-tanya lebih jauh.

Abis itu dia ilang gitu aja, kayak ditelan bumi.

Jejak digital Nadhira memang sepertinya berhenti begitu saja tiga tahun lalu, di sekitar waktu yang Stef ceritakan.

Semua kemisteriusan Kael mendadak menjadi semakin masuk akal bagi Ophe. Bulu kuduknya berdiri mengingat bagaimana waktu itu di kamarnya, dia dan Kael hampir saja ...

"Mbak Ophelia," sebuah suara dari pintu memanggilnya. "Silakan masuk."

Ophe yang sedari tadi menunggu di depan ruangan Kepala Sekolah SMA Prima Harapan tempatnya mengajar itu menurut. Dia berjalan masuk, dan langsung mendapati air muka keras milik Bu Grace, sang Kepala Sekolah, yang lantas mempersilakan Ophe untuk duduk di depan meja kerjanya. Ophe mengangguk dan tersenyum kaku tanda formalitas.

Di sisi lain ruangan, sepasang suami istri berwajah berang tengah duduk sambil menusuk Ophe dengan pandangan mereka. Sang istri adalah perempuan yang kemarin memarahi Ophe di klinik. Ophe berusaha tidak mengindahkannya, meski tampang mereka lumayan mengganggu juga.

"Saya tidak akan buang-buang waktu ya, Ophelia," ujar Bu Grace. "Mulai hari ini, kamu diskors sampai waktu yang belum ditentukan."

Ophe terhenyak menatap wanita di depannya itu. Alis imitasi Bu Grace yang menukik tajam menambah kebengisan di wajahnya yang gempal.

"Maaf, Ibu, atas dasar apa saya diberikan skorsing? Kejadian kemarin itu murni kecelakaan. Lagipula saya sudah membawa dan mendampingi Raffa ke klinik. Dia juga sekarang baik-baik aja, kan? Patah tangannya nggak parah."

Ibu Raffa memelototi Ophe. "Kurang ajar ya kamu ngomong kaya gitu?" semburnya.

"Harap tenang, Bu, biar saya yang selesaikan," tukas Bu Grace pada perempuan itu, sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada Ophe.

"Ini bukan hanya soal Raffa, Ophelia. Kamu sudah lalai mengawasi anak-anak didik kamu. Dari laporan yang saya dapat, mereka bilang kamu malah sibuk main handphone di jam kelas, bukannya menjaga agar jangan sampai ada yang cedera."

Ophe mengeratkan kepalan tangannya hingga urat-urat nadinya bertonjolan. Bocah-bocah setaaan, umpatnya. Ophe memakukan pandangannya pada noda di sudut meja Bu Grace agar emosinya tidak sampai meledak.

Bu Grace melanjutkan. "Beberapa murid sudah memberanikan diri menghadap saya. Semuanya bersaksi yang sama. Katanya, kamu sukanya bully murid."

"Saya mendisiplinkan mereka, Bu," Ophe menggeretakan giginya. "Bukankah itu jobdesc saya? Bukankah kedisiplinan itu yang selalu dibanggakan SMA Prima Harapan?"

Sekilas, Bu Grace melempar lirikan cemas pada orang tua Raffa yang masih menatap Ophe dengan buas. Ophe paham. Kedua orang itu pasti salah satu penyumbang dana terbesar yayasan sekolah ini. Pantas saja.

"Kedisiplinan tidak sama dengan meneror murid," balas Bu Grace. "Kita tetap harus menjadi contoh teladan bagi murid-murid kita di sini. Bukan sekadar sosok otoriter."

Girls Like You (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang