Untuk kedua kalinya, Ophe memutar gagang pintu berbentuk telapak kaki anjing itu.
Pintu shelter Sahabat Bulu terbuka dan menyambut Ophe dengan sengatan bau khas anjing dan gonggongan yang sahut menyahut. Ophe perlahan melangkah masuk.
Bahkan setelah semua yang terjadi kepada Ophe, semua hal di lobi shelter ini masih sama seperti yang terakhir dia ingat. Sofa ungu minimalis yang mencolok di antara interior jadul berwarna kuning keemasan. Deretan foto-foto anjing menggemaskan di dinding dekat pintu. Dan meja resepsionis. Bedanya, kali ini yang sedang berdiri di balik meja dan memunggunginya itu bukan gadis yang kini Ophe kenal sebagai Anggika, melainkan orang yang memang ingin Ophe temui.
"Kael."
Sosok itu berbalik.
"Ophe? Apa kabar?"
Pertemuan ini hampir persis dengan hari berbulan-bulan yang lalu, ketika Ophe datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mengembalikan charger Kael yang tertinggal. Namun, yang dirasakan di antara mereka sudah berbeda jauh.
Atau setidaknya, itu yang Kael harapkan. Tentu saja harapan itu tidak tergambar dari wajahnya, sehingga Ophe tidak mengetahui itu.
"Lo lagi sibuk, ya, El?"
"Nggak sih. Baru ngasih makan anak-anak. Sekarang lagi pada main di taman belakang." Ophe paham, yang Kael maksud tentunya adalah anjing-anjing di sana. "Gue cuci tangan bentar ya. Lo duduk di sofa dulu aja."
Ophe mengisi waktunya dengan mengamati foto-foto para anjing di dinding atas sofa dan mengagumi komposisi di setiap fotonya. Dia baru menyadari ternyata ada satu foto anjing yang digantung agak terpisah dari yang lain. Di dalam foto itu, seekor border collie (kalau Ophe tidak salah ingat nama rasnya) tengah mengenakan sebuah topi ulang tahun berwarna pink bergaris putih dan berhadapan dengan sebuah kue ulang tahun cokelat berhiaskan kembang api sebagai lilinnya. Namun yang membuat foto itu begitu mencolok adalah ekspresi sang anjing. Dengan mata membelalak dan rahang terbuka lebar, dia terlihat sangat ceria.
Kael akhirnya kembali dan duduk di ujung sofa, sementara Ophe di ujung yang lain. Lama tidak ada kata yang tertukar di antara mereka. Yang terdengar hanya suara gonggongan riang para anjing yang tengah berkejaran di belakang.
Akhirnya Kael yang pertama bicara. "Jadi, em, ada perlu apa, Phe?"
"Gue mau pamit," ujar Ophe pelan.
"Oh."
Kael tahu, bagaimana pun juga, ini akan terjadi pada akhirnya. Perpisahan bukan sesuatu yang bisa dielakkan. Tidak dulu, ketika Mama dan Bapa pergi untuk selamanya. Tidak juga sekarang, ketika satu-satunya perempuan yang dia sayangi memilih untuk meninggalkannya.
"Iya, Phe. Gue paham. Mmm, makasih ya buat tiga bulan ini. Dan ..."
Tangan Kael mulai terangkat dan menggaruk belakang kepalanya lagi, membuat rambutnya semakin kusut.
"Setidaknya sebelum lo pergi, lo harus tahu kenapa gue ngelakuin ini semua. Iya, gue emang stalking lo. Dan Nadhira. Tapi bukan karena alasan yang selama ini lo sangka."
Ophe merapatkan bibirnya. "Lo intel polisi, kan?"
Kael mengangguk. "Nadhira itu anggota gembong narkoba yang ngincer anak-anak maba di kampus gue, Phe. Kalau nggak karena informasi dari gue, dia dan jaringannya nggak akan ketangkep. Kalau lo ... Sejak kasus kedua pembunuhan berantai kemarin, abang gue udah mencurigai sekolah tempat lo kerja, karena radius TKP dan beberapa barang bukti yang tertinggal di sana. Abang gue akhirnya nugasin gue untuk mantau sekolah lo dan sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...