Jarum jam di dinding menunjukkan angka satu lewat tiga puluh menit. Ophe duduk di sebuah ruangan bercat abu-abu dengan segelas teh manis hangat yang masih mengepul di tangannya. Sebenarnya dia lebih menginginkan cokelat panas, tetapi dia juga tahu diri untuk tidak meminta yang aneh-aneh kepada polwan yang tadi menawarkannya minum. Masih untung mereka bersedia menyanggupi permintaan Ophe untuk menambahkan gula yang banyak ke dalam tehnya.
Seorang pria berperawakan tinggi tegap, berkulit kecoklatan, dan berambut ikal masuk ke dalam, didampingi polwan penuh senyum yang tadi membawakan minum Ophe. Polwan itu berdiri di sebelah Ophe, sementara pria tadi menarik sebuah kursi kayu dan mendudukkan diri di hadapan Ophe.
"Diminum dulu tehnya, Mbak," ujar pria itu.
Ophe menurut tanpa kata. Diseruputnya gelas di tangannya, dan serta merta tubuhnya terasa lebih hangat.
"Gimana keadaannya sekarang? Udah baikan?"
Ophe mengangguk kecil, tidak tahu harus berkata apa.
Pria tadi mencondongkan tubuhnya ke hadapan Ophe. "Nama saya Ipda Petra Sihaenenia. Saya yang bertugas menyelidiki kasus pembunuhan berantai di kawasan Mustika Mulya ini. Kami sudah mengikuti petunjuk demi petunjuk yang tercecer selama tiga bulan terakhir, hingga akhirnya... Yah, singkat kata, kasusnya sekarang sudah terpecahkan. Tersangka Ferogama Liem sudah kami jebloskan ke sel untuk menunggu proses hukum selanjutnya. Kami juga mengamankan barang bukti berupa satu buah ID card dengan tali metal yang selama ini dia jadikan senjata untuk membunuh korban-korbannya, dan obat-obat bius yang--"
Ipda Petra berhenti bicara ketika melihat seluruh tubuh Ophe yang gemetaran, terutama ketika dia menyebutkan nama lengkap pria yang telah menyekapnya dan hampir membunuh gadis itu satu jam yang lalu. Polwan di sebelah Ophe menaruh tangan di bahu Ophe dengan lembut sambil melempar pandangan kepada Ipda Petra. Petra mengangguk paham.
"Maaf, kami tahu Mbak Ophelia sedang sangat terguncang karena kejadian yang baru Mbak alami. Oleh karena itu, kami tidak akan menahan Mbak lebih lama lagi. Mbak boleh pulang dan beristirahat. Tapi dalam beberapa hari ke depan, kami mungkin akan menghubungi Mbak untuk dimintai keterangannya. Tidak apa-apa kan?"
Ophe mengangguk kecil.
"Baiklah kalau begitu. Briptu Raya akan mengantar Mbak ke meja depan supaya Mbak bisa ambil barang-barang dan KTP Mbak."
Rupanya Briptu Raya adalah polwan yang berdiri di sebelah Ophe sedari tadi. Ophe berdiri dengan sedikit limbung, sehingga harus agak ditopang oleh sang polwan.
"Sekarang Mbak Ophelia tinggal istirahat yang banyak ya," ujar Briptu itu. "Oh ya, dari tadi ada yang sudah nungguin di depan buat jemput Mbak."
"Nungguin saya? Siapa, Bu?"
"Ya ampun, Opheeee!!!"
Ophe seketika menoleh mendengar suara yang begitu familiar di telinganya itu. Dari kursi ruang tunggu, Katja melonjak dan langsung menghambur memeluk Ophe. Meski tanpa make up dan setelan mahal yang biasa dia pakai ke kantor, dia tetap saja terlihat siap untuk photoshoot majalah fashion.
"Katja? Lo ke sini naik apa?" gumam Ophe di antara gerumbulan tebal rambut Katja yang wanginya kayak baru dikeramas tadi.
"Taksol."
"Kat! Lo gila? Setelah jelas-jelas tadi gue diculik sama orang yang ngaku driver taksi online?!"
"Gue panik, Phe! Nggak bisa mikir jernih! Setelah lo nggak ngabarin-ngabarin gue kalo lo udah nyampe bandara, gue nggak bisa konsen ngapa-ngapain. Gue neleponin lo mulu sampe sesenggukan sendiri, tau nggak. Kalo si Kael ga hubungin gue dan ngasih tau semuanya, gue sendiri kayaknya yang langsung ngelaporin ke polisi kalo lo ngilang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...