Isi kepala Ophe berdentam-dentam.
Setengah mati, dia berusaha membuka pelupuk matanya. Seluruh senti tubuhnya terasa luar biasa lemas tanpa bisa digerakkan. Seolah-olah, seluruh ototnya berganti menjadi agar-agar.
Ketika akhirnya dia bisa membuka matanya meski hanya segaris, keremangan lah yang justru menyambutnya. Sekelilingnya nyaris gelap gulita, dengan pengecualian sebuah lampu meja berbohlam kuning di atas sebuah meja lebar tidak jauh di hadapannya, yang kelihatannya menempel di tembok.
Ophe merasakan kulitnya meregang perih di berbagai tempat, membuatnya menyadari sesuatu.
Dia tengah terduduk di sebuah kursi, dengan sekujur tubuhnya yang diikat menggunakan selotip. Atau lakban, mungkin. Bau lemnya mulai memenuhi penciuman Ophe. Mulutnya juga terasa amat kaku, membuatnya sadar bahwa sepotong lakban juga merekatkan kedua bibirnya dengan rapat, membuatnya mustahil berteriak kecuali dalam suara lenguhan.
Dia paksakan agar matanya terbuka seluruhnya, meski sulitnya seperti mengangkat sepasang barbel hanya dengan pelupuk matanya. Tetap saja dia sulit mengenali sekitarnya, apalagi dengan cahaya yang begitu sedikit.
Ophe akui, dia memang impulsif, dan emosinya sering tidak bisa dikendalikan. Tetapi Ophe juga adalah seorang judoka yang tidak bisa diremehkan. Di setiap pertandingan, seluruh sisi eksplosif dirinya bisa dia kesampingan agar bisa fokus kepada lawan.
Dia mengingat latihan keras yang dia jalani sebelum pertandingan waktu itu. Bagaimana dia harus memakai penutup mata sambil menghadapi sensei-nya sebagai tes terakhir sebelum dia bertanding.
Bagi Ophe, situasinya sekarang ini mirip dengan waktu itu. Kini yang dia bisa andalkan hanya indra penciuman dan pendengarannya.
Selain bau lem lakban, berbagai bau kimia yang tajam dan kuat juga menusuk-nusuk hidungnya. Udara juga dipenuhi bau apak dan usang, seperti debu tebal campur lumut yang lembab. Ophe menebak, di mana pun dirinya sekarang, tempat ini pastinya jarang atau telah lama tidak disentuh manusia.
Ophe menajamkan telinganya. Meski samar, dia bisa mendengar gemericik air mengalir yang berasal dari kejauhan. Mungkin dia sedang berada di dekat sungai atau semacamnya?
Namun sebelum Ophe bisa menebak lebih jauh, dia mendengar sesuatu yang membuat darahnya serasa membeku.
Suara langkah kaki.
Suara kaki yang lebih tepatnya diseret ketimbang diangkat. Kemudian, suara embusan napas yang berat. Semakin dekat. Semakin dekat, sampai...
"Halo, Ophelia." Suara itu berbisik tepat di telinga Ophe.
Jantung Ophe serasa berhenti berdetak. Dia tahu benar siapa pemilik suara itu, meski sudah lima tahun berlalu.
Fero.
Ophe mencoba meronta, menggeliat, membuat gerakan apa pun asal dia bisa lepas dari ikatannya. Percuma. Tubuhnya menolak untuk diajak kerja sama sedikit pun. Dia masih saja terkulai lemas tidak berdaya.
Jari jemari yang sedingin es menyentuh samping kepala Ophe dan menyelipkan sedikit anak rambut ke belakang telinganya. Nafas lelaki ini masih saja sama seperti dulu: segar seperti mint. Namun itu malah membuat Ophe muak tidak terkira.
"Tubocurarine chloride," pria itu berkata. Salah satu tangannya menunjukkan sebuah suntikan yang sudah kosong. "Tenang, dosisnya kecil. Dia hanya akan membuat kamu tidak bisa bergerak saja. Sering dipakai untuk melumpuhkan binatang buruan di hutan Amazon. Binatang buruan yang mungkin terampil bela diri, seperti kamu, Ophelia. Seekor binatang liar yang cantik dan buas. Saya tidak mungkin membawa kamu ke sini begitu saja tanpa ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...