Percakapannya dengan Katja kemarin membayang-bayangi Ophe.
Benaknya terus-terusan memprotes apa yang Katja bilang.
Kael? Stalker? Masa sih? Bukannya yang gitu-gitu biasanya cuma ada di film-film Hollywood, ya?
"Gue saranin sih, lo agak jaga jarak dulu deh sama dia. Apalagi karena masih ada kasus pembunuhan berantai itu, kan? Hati-hati, Phe," ujar Katja waktu itu. "Lo nggak bisa semudah itu percaya sama orang yang lo belum kenal deket."
"Jadi menurut lo Kael yang bunuhin cewek-cewek kemaren itu, gitu?"
"Ya nggak gitu juga. Tapi kan, sebagai cewek, we can never be too careful. Gue khawatir aja sih."
Sebagai anak tunggal korban perceraian, Ophe selalu merasa bersyukur atas perhatian Katja yang sudah seperti kakaknya sendiri itu. Meskipun kadang dia suka kelewat batas--seperti kemarin-kemarin, misalnya, ketika dia dan Wisnu mengerjai Ophe dan Kael --kali ini kekhawatiran Katja mau tidak mau membuat Ophe kepikiran.
Ophe sedang tidak ada jadwal mengajar hari itu. Jadwal pelajaran SMA Prima Harapan memang berbeda dari sekolah menengah atas pada umumnya, karena lebih menyerupai jadwal perkuliahan. Jika tidak ada jadwal, ya guru yang bersangkutan tidak perlu datang ke sekolah.
Pukul sembilan pagi, Ophe masih terbaring di ranjangnya. Dia bahkan belum keluar kamarnya sama sekali. Matanya terpaku di titik di tempat Kael dan dirinya duduk berdua semalam. Perutnya kembali jumpalitan.
Fucking hell, pikirnya. It was a damn good kiss.
Ophe memejamkan matanya, mencoba mengulang kembali momen itu di kepalanya, senyata yang dia bisa.
Nggak mungkin dia penjahat. Dia emang rada-rada ga jelas, tapi ... penjahat? Stalker? Bahkan serial killer?
Ophe mengingat tawa lepas Kael setiap dia bermain dengan anjing-anjingnya. Binar di matanya saat dia membicarakan koleksi foto-foto candid yang dia sebut Guilty Gallery itu. Dan, terutama, cara Kael menghormati permintaannya semalam untuk menyudahi ciuman mereka. Tanpa protes. Tanpa pertanyaan mendesak.
Namun kemudian dia mengingat gerak-gerik Kael yang juga sering mencurigakan. Bagaimana dia tiba-tiba ada di hadapan Ophe begitu saja, seperti muncul dari udara kosong. Belum lagi, kebiasaannya menghilang tanpa sebab yang jelas. Alasannya selalu saja emergency di shelter, tapi apa iya? Apa benar? Dia memang terlihat terbuka tentang masa lalunya, tapi di saat yang sama banyak sekali hal yang terkesan dia tutupi atau hindari bicarakan sama sekali.
Ditambah lagi--ini membuat bulu kuduk Ophe meremang--Kael tahu bahwa Ophe pernah menjuarai pertandingan judo tingkat provinsi di masa SMA-nya. Dia tidak pernah beritahukan itu kepada Kael. Katja saja belum tahu.
Apa berarti Kael stalking dia selama ini?
Keraguan mulai menyapu diri Ophe.
Dia tahu, dan dia mengakui kalau memang dia sudah benar-benar suka sama cowok itu. Kalau sampai apa yang Katja curigai tentang Kael ternyata benar, Ophe harus segera membunuh perasaan ini secepatnya. Jika tidak, dia bisa jadi akan sama terpuruknya dengan kasusnya dulu bersama Fero.
Dia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Dulu ketika bertemu Fero, dia masih muda. Bahkan, bisa dibilang masih kecil. Sekarang, lima tahun kemudian, dia sudah tahu jauh lebih banyak. Sudah banyak hal yang dia pelajari.
Dan sekarang, dia harus segera melakukan sesuatu.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Storie d'amore[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...