Setelahnya, percakapan mereka mengalir lancar tanpa ada lagi hambatan, meski Ophe masih berusaha menyingkirkan ingatan akan punggung bidang Kael yang tidak sengaja dia lihat tadi. Ophe sendiri sulit percaya rasanya bahwa Kael, jenis manusia yang bikin dia paling alergi ternyata bisa mengobrol semudah itu dengannya.
Ini ceritanya kita lagi bonding, nih? Ophe bertanya-tanya, heran sendiri. Diam-diam dia mengakui, yang Katja bilang tentang Kael sebenarnya orang yang asyik ternyata ada benarnya juga.
Tapi tentu saja dia nggak akan pernah mengakui kalau Katja benar.
Semudah itu pula, Ophe kehilangan pegangannya akan waktu. Barulah ketika dia melirik jam yang terpasang dekat kulkas Kael dia menyadari bahwa sekarang sudah pukul tujuh lewat. Perutnya seketika mengingatkannya kalau sejak siang dia belum makan sesuap pun, tepat ketika obrolannya dengan Kael terhenti sejenak.
Nyaring suara keroncongan yang terdengar dari perut Ophe bahkan sampai membangunkan salah satu anjing Kael.
Ophe memalingkan wajahnya yang merah padam. Dia setengah mempertimbangkan untuk meloncat dari balkon ruko saking malunya, ketika akhirnya Kael bersuara.
"Gue juga laper kok. Deket stasiun situ ada tukang nasgor enak. Lo mau ke sana?"
Mereka berjalan di antara keramaian perayaan para supporter Taruna Perkasa, yang ternyata lagi-lagi mampu menaklukkan Persikarya. Beberapa truk bak terbuka melintasi jalan sebelah stasiun, masing-masingnya dipadati orang-orang beratribut biru langit dan putih. Riuh suara talu berbagai benda yang mereka jadikan alat musik—mulai dari ember, tong sampah besar, sampai bakul nasi—mengiringi lantangnya nyanyian lagu mars Taruna Perkasa. Bendera kesebelasan itu mereka kibarkan selayaknya pejuang yang baru saja menang di medan perang.
Dua orang penumpang salah satu truk yang lewat melambai pada Ophe. Usia mereka kira-kira sama dengan anak-anak didiknya. Ophe balas melambai sambil tersenyum lebar.
"Lho, lo penggemar bola lokal, Phe?"
"Oh, bukan. Bocah-bocah itu ngingetin gue sama murid-murid gue," jawabnya. Padahal, sebenarnya dia diam-diam ikut puas akan kekalahan Persikarya, setelah pengalamannya yang lumayan tidak mengenakkan di KRL tadi siang.
Kios nasi goreng yang Kael maksud sedang padat dengan pembeli. Karena terlanjur kelaparan, mau tak mau mereka harus rela duduk di pojok, tepat di ujung bangku kayu. Siku Ophe dan Kael yang kidal tidak henti beradu setiap mereka berusaha menyuapkan makanan. Dari jarak sedekat ini, Ophe bisa memastikan bahwa bahu Kael memang tipe yang enak disandari. Dia tidak mau membiarkan pikirannya jalan-jalan terlalu jauh, tapinya.
"Gue belum minta maaf karena tadi siang ninggalin lo begitu aja di kafe," cetus Kael. "Ada satu anjing yang keracunan di shelter, jadi gue harus cepet-cepet balik buat tanganin."
"Ya ampun, sekarang gimana keadaannya?"
"Lagi nginep di rumah sakit hewan. Tapi udah nggak apa-apa sih. Besok mau gue jemput."
"Syukur deh."
Ketika Ophe hendak membayar makanannya, sang abang penjual memberitahunya bahwa Kael sudah melunasi semuanya.
"Udah, santai. Itung-itung ini cara gue berterima kasih karena udah mau repot-repot balikin barang gue jauh-jauh ke sini. Yuk, sekalian gue temenin lo jalan ke stasiun."
Meskipun tadi mereka mengobrol tanpa putus, perjalanan ke stasiun KRL itu mereka habiskan dalam diam. Anehnya, Ophe tidak merasa canggung sedikit pun.
Oh, jadi ini yang orang sebut 'comfortable silence', batinnya.
Kael menunggu Ophe sampai selesai membeli tiket. Ophe menghampirinya untuk mengucapkan selamat tinggal, tapi Kael masih mengamati Ophe selama beberapa detik selanjutnya. Ophe langsung parno, khawatir ada yang salah lagi dari penampilannya. Apakah nasi gorengnya menempel di gigi? Atau rambutnya yang kelebihan kelenjar minyak itu kelihatan makin parah di bawah sinar lampu stasiun?
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...