Tangga yang Kael maksud ternyata harus dimasuki dari pinggir ruko, lewat pintu samping yang terlihat gelap bahkan di sore terik seperti sekarang. Ophe mundur selangkah.
"Asal lo tau aja ya, gue ini pejudo sabuk item tingkat dan tiga. Gue bisa patahin tangan cowok dewasa dalam hitungan waktu di bawah sepuluh detik. Jadi kalo lo berani coba macem-macem ..."
Di luar dugaan, Kael malah tertawa. Atau lebih tepatnya, terkekeh singkat. Kekehannya aneh, tapi di saat yang sama, menarik. Mirip suara kerikil yang digilas di bawah sepatu.
"Gue nggak akan secari mati itu, lah."
Ophe masih waspada, tapi akhirnya mengikuti langkah Kael juga.
Mereka menaiki tangga dan tiba di sebuah pintu di ujung lorong. Bau anjing semakin kuat menggantung di udara, berikut dengan gaung berbagai jenis gonggongan. Ophe mengira itu hanya suara yang datang dari lantai bawah, tapi kemudian dia mendengar riuh suara langkah kaki di lantai kayu. Sekejap setelah Kael membuka pintu, segerombolan anjing beragam warna dan jenis menghambur menyambutnya dan Ophe, masing-masing dengan antusiasmenya sendiri. Beberapa di antaranya melompat ke pelukan Kael, minta digendong tanpa menyadari ukuran mereka sebesar apa.
"Kenalin nih, delapan sahabat gue," ujar Kael, di sela-sela hebohnya kibasan ekor dan ributnya salakan.
"Delapan?!" Ophe hampir keselek.
"Iya. Guys, ini temen gue. Namanya Ophe. Kalian semua baek-baek ya sama dia."
Mereka membalas dengan serentak menggonggong gaduh. Dengan ekspresi bak ayah yang bangga memamerkan prestasi anak-anaknya, Kael mulai menunjuk satu per satu anjingnya.
"Itu Jotaro, Jonathan, GioGio, Joseph, Jolyne, Josuke, Johnny, dan ..."
Kael mengangkat seekor anjing kecil jenis terrier berbulu putih dengan muka paling galak yang pernah Ophe liat seumur hidupnya.
"... Dio Brando!"
Dio Brando meloncat ke muka Ophe. Refleks Ophe menyuruhnya menghindar, tapi ternyata anjing itu hanya ingin menjilati wajahnya. Ophe tidak bisa menahan tawanya. Meski dia bukan pecinta anjing, tapi siapa yang tidak luluh kepada anjing seimut ini?
"Si Dio mah emang gitu. Tampangnya doang yang ganas. Aslinya ya kaya gini nih. Bleberan," komentar Kael. Ophe bisa mendeteksi nada geli di balik kelempengannya yang biasa. Ophe tahu persis, karena dia sendiri juga begitu setiap kali dia mendeskripsikan ular-ularnya.
"Lo dapet nama-namanya dari JoJo's Bizarre Adventure, ya?"
"Oh, lo tahu?" tanya Kael, kentara terkesan. Ophe mengangguk singkat, dan menyadari mata Kael yang biasanya terlihat mengantuk tiba-tiba berbinar.
Anjing yang bernama Dio Brando itu melompat balik ke bahu tuannya, yang langsung mengelus-ngelus bulu empuk hewan kecil itu, dan menurunkannya kembali ke gerombolannya.
"Kalian pada ke sana dulu, gih. Jangan nakal!" seru Kael, meskipun kata 'seru' di sini mungkin kurang tepat mengingat volume suaranya yang tidak sedikitpun menaik. Seolah paham, para anjing itu berbaris pergi dengan patuh dan merebahkan diri mereka di atas alas tidur masing-masing. Beberapa langsung memejamkan mata, beberapa berguling-guling sambil menggigiti mainannya.
Kael berbalik ke Ophe. "Lo mau minum apa?"
"Air putih dingin aja kalo ada."
"Ada. Bentar ya. Duduk dulu," Kael menunjuk ke salah satu dari dua kursi yang disela oleh sebuah meja bundar kecil.
Ophe memperhatikan sekitarnya. Tempat Kael ini sebenarnya lumayan memadai untuk ukuran kota ini. Meskipun begitu, ruangannya bisa terbilang agak pengap, apalagi dengan kehadiran delapan ekor anjing di dalamnya. Ventilasi yang tersedia hanya dua jendela. Satu tepat di sebelah Ophe di area ruang tamu, satu lagi di dapur mungil yang terpasang di sudut. Dapur itu terdiri dari satu kompor kecil, tempat cuci piring beserta raknya, dan satu kulkas setinggi dada. Dapurnya terlihat mengilap, meskipun sepertinya lebih karena jarang dipakai ketimbang karena pemiliknya rajin bersih-bersih. Sekitar lima langkah dari sana, terdapat dua ruangan tertutup. Ophe menebak, satu adalah kamar mandi, satu lagi kamar tidur Kael.
![](https://img.wattpad.com/cover/280632024-288-k615457.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...