"Gimana Pak, baiknya?" Kepala Polres Jakarta Barat menanyakan kembali pertanyaan yang telah dia ajukan sejak rapat pagi tadi. "Sudah berpuluh-puluh missed calls di HP saya dari awak media. Mention di medsos kita juga penuh, mendesak agar kasus ini segera dipecahkan. Apa sekarang sudah waktunya kita umumkan kasus terbaru?"
Sedari tadi, Kapolres itu memijat-mijat tengkuknya. Bukan karena tengkuknya sakit, atau karena kolesterol, tetapi karena gemas. Gemas pada Wakapolda di hadapannya yang masih saja belum memberi izin untuk menghubungi media. Jika saja yang bertugas adalah Kapolda, yang sedang cuti karena harus dioperasi pengangkatan empedu, maka dia tidak akan membuang-buang waktu. Kapolres itu mungkin pada detik ini telah menjalankan konferensi pers mengenai korban keempat kasus pembunuhan berantai yang sedang mereka hadapi.
"Kita tunggu sebentar lagi saja lah," sahut sang Wakapolda, yang Kapolres itu tahu setidaknya tiga tahun lebih muda dari dirinya. "Laporan dari Ipda Petra sebentar lagi masuk. Kita jangan gegabah memutuskan tindakan."
"Tapi, maaf, Pak, dengan segala hormat-- Kasus ini sudah tersebar luas. Pers hanya tinggal menunggu konfirmasi dari kita saja. Saya--"
"Kita tunggu," potong Wakapolda tegas. "Ipda Petra sebentar lagi akan datang dan membawa laporan perkembangan terbaru."
Kapolres menarik napas, dan ketika mulai berbicara lagi, dia seperti meludahkan kata-katanya selanjutnya.
"Ipda Petra. Dia percaya sekali ya pada cepunya itu?"
"Ingat kejadian penangkapan tiga tahun lalu? Itu juga karena informan Ipda Petra"
"Saya belum ditugaskan di sini waktu itu, Pak," jawab Kapolres .
"Ah, pantas," senyum sang Wakapolda mengembang. Senyum yang jelas sekali mengejek. Sang Kapolres semakin meradang. Namun emosinya teralihkan oleh pintu ruangan Wakapolda yang mengayun terbuka.
"Selamat siang, Pak," Ipda Petra melangkah masuk. Dia bertukar pandang sejenak dengam sang Kadiv yang langsung berseloroh, "Akhirnya datang juga!"
"Mohon maaf atas keterlambatannya. Saya baru saja selesai ditelepon informan saya. Pola kejahatan si pelaku semakin terbaca sekarang, Pak. Bahkan sepertinya... dia sudah punya dugaan kuat akan kapan ada aksi selanjutnya."
Kapolres mengangkat alis untuk menyembunyikan cibirannya. "Informan Pak Penyidik memangnya ada latar belakang kepolisian? Atau psikologi? Kok dia bisa-bisanya punya dugaan begitu?"
Ipda Petra menatapnya tepat di mata. "Apa yang dia laporkan pada saya cocok dengan bukti fisik di TKP dan bukti medis dari forensik."
"Begitu? Bukankah cuma gara-gara relasi Pak Ipda dengan--"
"Sudah cukup," potong Wakapolda tegas. "Pak Kapolres, silakan selenggarakan konpers untuk mengumumkan kasus pembunuhan terbaru dan perkembangan paling mutakhir. Ipda Petra, terima kasih atas laporannya. Silakan ditindaklanjuti."
Kapolres mengangguk dan pergi. Wakapolda terduduk di kursinya dan menatap Ipda Petra.
"Tolong pastikan kita tepat sasaran."
"Tenang saja, Pak." Ipda Petra berkata mantap. "Sama seperti tiga tahun lalu, informan saya tidak mungkin salah."
***
Sejak pertemuan pertama di kelas judo-nya, Ophe telah memberlakukan satu peraturan yang sama sekali tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, termasuk dirinya:
Dilarang memainkan gadget dalam bentuk apa pun selama kelasnya berlangsung.
Selama setahun dia mengajar, sudah belasan murid yang ketahuan olehnya sedang membuka gadget mereka. Tentu saja mereka diganjar hukuman khas Ophe yang dipastikan bikin mereka kapok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...